Sekali Lagi Tentang: Tipologi Pesantren

0
22

Bukan tanpa alasan penulis memberi titel dengan diawali: sekali lagi.

Apa sebab?

Bagi sebagian kita, bahkan sebagian pengkaji pesantren sendiri, berpandangan bahwa kategorisasi pesantren ke dalam tipologi pesantren tradisional, pesantren modern, dan pesantren kombinasi adalah sudah tidak memiliki relevansi lagi. Paling tidak, pandangan ini didasarkan pada bukti empirik bahwa hampir tidak ada lagi pesantren yang “murni” modern, nyaris tidak ada lagi pula pesantren yang “murni”tradisonal. Dan jika lalu (semua) pesantren dikategorikan sebagai pesantren kombinasi, maka ia tidak lagi menjadi kategorisasi. Kategorisasi dapat dilakukan jika ada unsur pembeda-nya.


Mungkin ada benarnya pandangan tersebut itu. Bahkan, pada tengah tahun 2019, Tim yang dibentuk Kementerian Agama
melakukan upaya redefinisi terkait tipologi pesantren. Benar saja, tim ini lalu melakukan kajian, diskusi, dan melahirkan simpulan awal bahwa saat ini tipologi pesantren melebar menjadi paling sedikit 6 tipe, bukan lagi tiga tipe seperti tersebut di atas.

Bagi seseorang yang melakukan pengkajian, analisis, dan studi mendalam, kategorisasi pada setiap hal sangat diperlukan. Karena itu adalah memang kerja-kerja analisis. Di antara panduan kerja yang khas dalam melakkan analisis adalah: mengurai unsur-unsur obyek analisis, mencari titik persamaan (similarity) antar unsurnya, mencari titik pembeda (distinction) antar unsurnya, mencari titik similarity sekaligus distingsi dengan entitas obyek lain, melakukan kategorisasi, tipologi, dan lain sebagainya. Sekali lagi, karena untuk keperluan itulah, paling tidak, kategorisasi menjadi tetap relevan, termasuk kategorisasi pesantren ke dalam tipologi yang bervarian.

Bahkan, kita akan tetap dapat menemukan pembeda yang nyata antara pesantren tradisional yang satu dan pesantren tradisional yang lain. Sebagaimana kita juga dapat menemukan pembeda yang mencolok antara satu pesantren modern dan pesantren modern lainnya. Tentu saja menemukan persamaan dari dua pesantren modern atau dua pesantren tradisional menjadi sangat mudah. Setidaknya, itulah yang menghantarkan kepada semacam ketentuan bahwa seorang pengkaji, seorang peneliti harus jeli dan harus awas dalam kerjanya. Kejelian dan keawasan peneliti, akan dapat menguak sisi-sisi yang tak dapat diungkap oleh “orang umum”. Kejelian dan keawasan seroang peneliti tentulah merujuk pada ketajaman metodologis peneliti.


Istilah “orang umum”
adalah istilah yang penulis gunakan secara sengaja, dan dengan penuh kesadaran. Istilah ini dimaksudkan sebagai yang bukan peneliti, bukan pengkaji. Jika penulis bukan seseorang yang melakukan kajian terhadap suatu hal, maka penulis adalah “orang umum” terkait hal tersebut. Dan berlaku juga sebaliknya, pun untuk Anda.

Sampai di sini, dan terkait dengan itu, penulis ingin ceritakan bahwa ada kejadian yang sudah sebulan lebih menyita ingatanpenulis.

Cerita ini diawali dari kesepakatan penulis dengan beberapa kawan. Bahwa kami bersepakat untuk secara bersama-sama memelajari gramatika Bahasa Arab, dan mulai dari yang paling dasar. Kami pun sepakat bahwa akan membaca buku kecil, tipis, namun teramat penting dan sangat popular: Al-Ajurumiyah. Buku yang memuat informasi dasar-dasar dalam sintaksis Bahasa Arab. Sebagaimana telah maklum, buku ini di-anggit oleh Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad as-Shanhaji, ulama kelahiran 672 H dan wafat pada 723 H serta dimakamkan di Kota Fes Maroko. Maklum juga bagi publik pesantren, bahwa buku ini lebih popular di lingkungan pesantren salafiyah (tradisonal) dari pada di lingkungan pesantren mua’ashirah (modern).

Guna merealisasikan kesepakatan, salah satu kawan mencari buku tersebut. Dan penulis request agar mencari kitab yang disertai penjelasnya (syarah). Dugaan penulis, mungkin akan didapat Syarah al-‘Asymawi atau Syarah Mukhtashar Jiddan. Perkiraan ini didasarkan pada sebatas kepopuleran dua kitab syarah tersebut, bukan yang lain. Benar saja, ringkesnya, didapatlah kitab Syarah Mukhtashar Jiddan ‘ala Matn al-Ajurumiyah. Lagi-lagi, kitab syarah ini pun sangat popularbagi masyarakat pesantren, khususnya salafiyah. Di sinilah, atau dari sinilah, ingatan saya selama sebulan terakhir seolah harus tersita.


Apa sebab??

Berdasar informasi dari kawan penulis yang mencari buku tersebut, dengan sangat lugas dan tegas pihak tokomenyampaikan bahwa: “Daarul Qur’an adalah pesantren modern, dan syarah Jurumiyah yang biasa dipakai di pesantren modern adalah Syarah Mukhtashar Jiddan”.

Gubrakk!!!

Ungkapan “gubrak” tentu saja ungkapan yang sarat dramatisasi.

Ya, tapi sejujurnya penulis memang cukup kaget dengan pernyataan pihak toko kitab itu. Gegara penyataan pihak toko kitab, pikiran penulis melayang-layang, ke mana-mana, sampai sekarang, hingga akhirnya penulis catatkan di dinding laptop ini.

Lalu…

Apa iya Daarul Qur’an adalah pesantren modern?

Sejauh mana ia mengetahui Daaarul Qur’an?

Apa dasar ia mengategorikan Daarul Qur’an sebagai pesantren modern?

Apa iya Syarah Mukhtashar Jiddan adalah yang popular dikaji di pesantren modern?

Tentu saja kita dapat mengajukan masih banyak pertanyaan lain, bahkan puluhan, bahkan ratusan, bahkan ribuan pertanyaan.

Bukankah setiap jawaban selalu akan melahirkan pertanyaan lanjutannya, dan terus begitu ?


‏Simpulan sementara
penulis: itulah kesan, yang lalu disimpulkan, oleh outsider, terkait Daarul Qur’an. Daarul Qur’an dalam konteks ini, telah menjadi semacam “obyek amatan” dari seorang outsiders, pramuniaga toko kitab.

Simpulan penulis selanjutnya: Daarul Qur’an telah berhasil menjadi “public discourse”. Ia telah menjadi “wacana” bukan melulu bagi para insiders Daarul Qur’an. Bahkan jika hendak ditelusuri lebih jauh, mungkin saja Daarul Qur’an telah menjadi “obrolan” orang-orang di kantor, pabrik, pematang sawah, sekolah, dan di berbagai tempat lainnya.

Kembali kepada al-Ajurumiyah, atau Syarah Mukhtashar Jiddan..

Umum diketahui bahwa syarah Mukhtashar Jiddan adalah kitab penjelas atau syarah dari al-Ajurumiyah yang di-tshnif oleh al-‘Allamah as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Sebenarnya, di dalam mukhtashar Jiddan ini juga memuat taqridzat, atau semacam reportase tambahan namun cukup menukik, terkait tema yang dipaparkan. Itulah tradisi ulama kita masa lalu, saling memberi syarah, hasyiyah, taqridz, terhadap kitab pokok. Tradisi itu, kini, makin langka. Dan, menurut penulis, Pesantren adalah pihak paling pertama yang (harus) bertanggungjawab menjaga, melestarikan, mengembangkan tradisi tersebut. Tradisi serupa itu, tidak mungkin kita minta pihak “luar pesantren” untuk menjaganya.

Kembali lagi…

Sosok penulis Syarah Mukhtashar Jiddan adalah ulama besar, yang sangat popular di Nusantara (Indonesia dan sekitarnya). Salah satunya karena sanad keilmuan ulama di kepulauan Nusantara tersambung kuat dengan beliau, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Lahir di Mekah pada 1232 H/1816 M, menjadi mufti mazhab fikih Syafi’i sekaligus Syaikh al-Haram. Ulama-ulama asal Indonesia yang tercatat berguru kepada beliau antara lain Syeikh Nawawi al-Bantani, Kyai Muhammad bin Abdullah as-Shuhaimi, Kyai Muhammad Saleh Darat, Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Sayyid Utsman Betawi.

Didapat informasi bahwa nama terakhir yang disebut di atas adalah guru dari al-‘Allamah Guru Manshur (Muhammad Manshur bin Abdul Hamid bin Damiri bin Abdul Muhid bin Tumenggung Tjakra Jaya), yang tak lain adalah kakek buyut dari Pimpinan Daarul Qur’an, K.H. Yusuf Mansur.

Sehingga, jelasnya: Daarul Qur’an memiliki sanad sangat jelas, muttashil, kepada mushannif Mukhtashar Jiddan, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan.

Kembali lagi…

Soal pernyataan pihak toko…

Sebenarnya, penulis memiliki kesamaan pandangan dengan pihak toko dalam melihat Daarul Qur’an, sekaligus juga miliki perbedaannya.


Dalam salah satu momen, penulis pernah mengajukan simpulan bahwa Daarul Qur’an
dapat dikategorikan sebagai tipe pesanren modern. Atau, minimal, kombinasi sistem pendidikan di Daarul Qur’an lebih dekat kepada tipe pesantren modern, dari pada tradisonal. Penulis mengajukan beberapa dalil atas simpulan ini, dan pasti bukan di sini tempat untuk menguraikannya.

Last but not least, Daarul Qur’an yang penulis sebut sebagai pesantren modern, bukanlah modern sebagaimana yang digambarkan Durkheim. Bahwa modernitas dipandang olehnya sebagai masalah kehidupan, yang menawarkan berbagai produk yang mengakibatkan pelanggaran terhadap norma yang ada. Ke-modern-an Daarul Qur’an, adalah modern yang senantiasa berpijak pada akar tradisi yang kokoh, kuat, dan solid. Tradisi pesantren, tradisi tafaqquhfiddiin. Tradisi, sebagaimana disebut Giddens, tidak selalu bersifat statis, karena ia harus ditemukan ulang (re-invention) oleh generasi baru tatkala ia mengambil warisan tradisi dari pendahulunya.

Apa iya Daarul Qur’an senantiasa berpijak pada tradisi?

Dipelajarinya buku Syarah Mukhtashar Jiddan ‘ala matn al-Ajurumiyah, adalah satu dalil. Dan masih sangat banyak dalailatau buktibukti lainnya yang dapat diajukan. Sangat banyak.

Di sinilah, agaknya, terlebih bagi insiders, mungkin perlu meraba-raba, “sedang berada di manakah” Daarul Qur’an yang kita cintai ini??

Wallahu a’lamu.

 

Oleh: Ustadz Muhammad Bisyri, Ketua LSP Daarul Qur’an