Notes Untuk Mas Nadim

0
41

Sudah berlalu sekitar sepekan, video yang menayangkan wawancara Mas Nadim Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, dengan Mas Ade Armando, seorang dosen yang belakangan makin kesohor. Jika berminat mengetahui dua sosok itu, dapat dengan mudah kita mendapatkannya. Keduanya adalah orang-orang educated, tak diragukan sedikitpun. Video dimaksud berjudul: Nadim Habisi Tiga Dosa Di Dunia Pendidikan. Sebuah judul, yang memenuhi syarat sukses dalam strategi marketing. Tak ayal, dalam tempo singkat viewer-nya pun terus menanjak tinggi, selain juga dibagikan oleh sangat banyak orang. Alhamdulillah, kita dapat banyak belajar dari video itu. Terima kasih kepada banyak orang yang berperan serta atas munculnya video itu.

Awalnya, saya berniat memberi judul pada tulisan ini dengan: Catatan untuk Bapak Nadim Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Niat itu saya urungkan, dan tetap saya pilih judul seperti tersebut. Pilihan ini bukan tanpa sebab. Paling tidak, saya mencoba mengikuti style Mas Nadim yang suka memakai diksi-diksi dalam bahasa Inggris. Walau sebenarnya akan sangat mudah bagi publik untuk paham jika Mas Nadim menggunakan Bahasa Indonesia. Terlebih saat bicara yang langsung atau tidak langsung berkaitan dengan dunia pendidikan negeri ini.

Saya pastikan, saya tidak anti bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya. Sejak muda dan sampe sekarang, saya sendiri masih terus belajar mengembangkan kemampuan bahasa Inggris saya. Besar harapan, moga-moga kemampuan bahasa Inggris saya segera seperti Mas Nadim, yang sangat fasih dan sangat suka menggunakannya. Selain Bahasa Inggris, saya juga belajar bahasa asing lainnya. Prinsipnya, saya tidak anti bahasa asing, bahkan saya menyukainya.

Saking sukanya menggunakan bahasa Inggris, saat diminta Mas Ade untuk memerjelas apa itu RPP, Mas Nadim justeru menjawabnya dengan: subject planning, dan bukan memilih menyebutnya sebagai: Rencana Pelaksanaan Pembelajaran. Itulah Mas Nadim, yang apa adanya. Juga ada apanya.

Owh iya, masih terkait judul, ingin rasanya menambahkan judul tersebut menjadi: Notes untuk Mas Nadim dan Mas Ade. Sebab, yang tampil dalam video itu, selain Mas Nadim juga Mas Ade. Mas Ade memang bukan pejabat publik. Tapi siapa yang meragukan kesohoran Mas Ade? Kesohorannya hampir-hampir mengalahkan artis-artis papan atas. Namun sebaliknya, biarpun Mas Ade sangat kesohor, ia tetap bukanlah pejabat publik seperti Mas Nadim. Sebab yang terakhir inilah, yang lalu megurungkan hasrat saya menambahkan judulnya. Jika pun nanti ada catatan untuk Mas Ade, paling hanya note, dan bukan notes.

Catatan yang dimaksud dalam tulisan ini sama sekali bukanlah kritik. Karena bukan kritik, maka tulisan ini adalah catatan dalam arti sebenarnya. Di dalam tradisi buku-buku Pesantren, dikenal istilah taqridz. Jika taqridz dalam tradisi buku-buku Pesantren biasanya berupa catatan/keterangn/informasi lebih lanjut dari suatu hal (misalnya yang ada pada syarah), maka tulisan ini adalah catatan yang menghantarkan kepada: kata tanya. Harapannya, kata tanya itu lalu menjadi semacam pijakan untuk eksplorasi lebih lanjut.

Ala kulli hal, saya sangat bersyukur dapat menyimak video wawancara fenomenal antara Mas Ade dan Mas Menteri. Bahkan saya sangat antusias menyimaknya, dari awal hingga akhir, dengan total durasi tidak kurang dari 1 jam. Wawancara dikelola oleh Mas Ade dengan santai namun serius. Kesan santai paling tidak didapatkan dari lontaran sapaan antar keduanya. Sebab itu pula, saya beranikan saja menyebut Bapak Menteri dengan Mas Nadim. Adapaun suasasna serius, tentu saja ditilik dari konten obrolan mereka. Betapa tidak serius, ini urusan segenap bangsa dan negara. Ini urusan pendidikan, yang adalah urusan hajat hidup dan nasib seluruh penghuni Republik ini. Saya tambahkan, saking seriusnya, judul dari obrolannya pun sampai harus meminjam term agama: dosa. Tentulah obrolan ini teramat sangat serius.

Materi obrolan yang paling awal dinaikkan adalah perihal POP, atau Program Organisasi Penggerak. Program Organisasi Penggerak adalah sebuah program yang dibuat oleh Kemendikbud guna mendorong hadirnya Sekolah Penggerak yang melibatkan peran serta organisasi. Fokus utamanya adalah peningkatan kualitas guru, kepala sekolah dan tenaga kependidikan untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Tentu saja saya senang dengan penjelasan Mas Nadim terkait program yang dilaunching 10 Maret 2020 itu.

Lalu.. Mas Nadim pun sedikit menceritakan perihal kunjungannya ke PBNU. Umum diketahui bahwa NU adalah satu dari tiga komponen masyarakat yang menolak POP ini, selain Muhammadiyah dan PGRI. Lebih lanjut Mas Nadim lantas menyatakan bahwa dirinya familiar dengan kelompok Islam dan bahkan familiar dengan tradisi Pesantren. Guna meyakinkan penonton, Mas Nadim bahkan membuka sirah tarbawiyah-nya. Bahwa ia dulu adalah siswa di sekolah Islam. Bahkan tak sungkan menyebut merk sekolah yang dimaksud. Lalu seolah agar lebih legitimated, ia menyebut pernah “nyantri” di Pesantren, tepatnya di Pesantren AlFalah Ploso Kediri. Sangat maklum, bahwa Pesantren AlFalah Ploso adalah salah satu Pesantren bintang sembilan yang sangat disegani, dari dulu hingga kini.

Selain itu, sudah barang tentu Mas Nadim juga bercerita bahwa dirinya menjalani petualangan belajar di Negeri Kanguru, Negeri Singa, Negeri Paman Sam, juga ke negerinya David Beckham.

Menyimak Mas Nadim yang menyatakan bahwa dirinya familiar dengan dunia pesantren, mendadak saya “kaget”. Boleh jadi kaget itu sebab takjub. Boleh jadi juga kaget itu sebab ragu. Dan agaknya, yang kedua adalah yang saya alami. Terlebih, Mas Nadim justeru seolah mendasarkan pengakuannya itu gegara hanya pernah berkunjung ke Pesantren lantaran nginthil Bapaknya yang melakukan kunjungan, dan kala itu Mas Nadim pun masih belia. Atau, apa merasa familiar dengan dunia Pesantren sebab pernah bersekolah di SD Islam Al-Izhar? Ada-ada saja!

Saya tidak tahu persis apa yang Mas Nadim maksud dengan pengakuannya itu. Namun itu tadi, Mas Nadim memang sangatlah beda dengan yang lain. Sejak kemunculannya di mata publik sebagai pejabat negara, ia selalu memberi kesan “beda sendiri”. Mas Nadim yang (sekadar) pernah ikut Bapaknya berkunjung ke Ploso, lalu cukup convidence mendeclare telah familiar dengan tradisi Pesantren. Sementara bagi orang kebanyakan, bahkan bagi para pengkaji pesantren, mereka selalu menyisakan ruang untuk merasa belum dapat sepenuhnya memahami kompleksitas dunia pesantren. Pesantren, sebagaimana disebut Gus Dur, adalah sub-kultur yang rumit dan kompleks.

Saya tentu saja tidak sangsi sedikit pun perihal patriotisme dan nasionalisme Mas Nadim, juga keluarganya. Tak ragu secuil pun. Mas Nadim adalah pribadi yang lahir, tumbuh, dan berkembang dalam tradisi keluarga yang patriotik. Petualangannya di belantara dunia, lalu berhasil membawa pulang oleh-oleh untuk negeri ini berupa inovasi besar bagi dunia transportasi publik Indonesia. Itulah salah satu pantulan dari nasionalismenya yang dahsyat. Seorang muda, yang mampu mengubah wajah transportasi publik negeri ini dalam tempo singkat. Mata publik pun dibuat kaget sebab takjub. What an amazing!

Materi obrolan lainnya yang mencuri atensi saya adalah perihal guru, dan yang terkait dengannya. Saya senang sekali Mas Nadim dengan tim besarnya di Kementerian telah berhasil mendiagnosa kondisi obyektif guru, termasuk kompetensinya yang sangat mendesak untuk didongkrak. Bahkan Mas Nadim juga mendesain agar peningkatan kompetensi guru dapat dilaksanakan di satuan pendidikan masing-masing. Bukan seperti selalu: di hotel-hotel. Ini bagus, karenanya harus segera direalisasikan. Jangan sampe kendor sebelum berbuah.

Saat ditanya perihal gaji guru, sekurang-kurangnya Mas Nadim menyampaikan bahwa gaji guru secara obyektif masih belum layak, dan perlu terus ditingkatkan. Mas Nadim pun menegaskan bahwa peningkatan gaji guru disesuaikan dengan standar minimal kompetensi guru. Artinya, saat kompetensi seorang guru telah memenuhi standar, maka saat itulah gaji guru yang bersangkutan dapat dinaikkan.

Di situlah saya sedikit isykal. Sederhananya, jika Mas Nadim mensyaratkan kompetensi minimal, apa Mas Nadim juga berani mensyaratkan gaji minimal bagi (semua) guru? Apakah pengabdian puluhan tahun seorang guru layak dikesampingkan dengan dalih kompetensinya belum memenuhi standar yang dibuat Kemdikbud? Sementara pada locus tertentu, betapapun “kondisi” guru, ia teramat sangat dibutuhkan anak didiknya.

Selain itu, Mas Nadim juga banyak menyampaikan kinerjanya selama hampir satu tahun memimpin Kemendikbud. Banyak kebijakan strategis dan taktis yang telah dikeluarkannya. Sangat banyak juga kebijakan yang ada pada tahap proses pematangan, pendalaman, pengkajian. Yang cukup disayangkan dari diskusi Mas Nadim adalah tidak sekali pun Mas Nadim ngobrolin “madrasah”. Kita semua tahu, madrasah berada di bawah “garapan” Kementerian Agama. Tapi apa sampai hati, Menteri Pendidikan, bicara pendidikan sekitar satu jam, tak sekali pun nyebut-nyebut madrasah. Seperti judul buku: hidup kadang begitu.

Untuk informasi, jumlah madarasah (2019) mencapai 82.418. Dengan jumlah siswa 9.245.248, dan jumlah guru 780.652. Mereka semua, adalah anak kandung dari Republik ini. Lebih menggelikan lagi, obrolan “pesantren” hanya muncul seolah untuk keperluan legitimasi Mas Nadim saja, seperti disebut di awal. Dan jauh dari bicara jutaan santri yang tersebar di seantero negeri. Mereka, para santri, adalah pelajar, siswa, sebagaimana pelajar atau siswa di sekolah. Apa support Mas Nadim untuk santri? Santri, adalah pihak yang membidani lahirnya Republik ini.

Di setengah bagian akhir, Mas Nadim seolah memancing perhatian publik dengan mengatakan bahwa dirinya, selaku Menteri, akan menghapus tiga dosa besar yanga da di dunia pendidikan. Saat pembicaraan sampai di sini, sejujurnya, saya meningkatkan atensi saya. Saya siap menyimak gebrakan apa (lagi?) yang akan dilakukannya. Namun sayang beribu sayang, Mas Nadim hanya (baru?) sedang akan mendesain amunisi yang di-andalkannya. Sekali lagi, itulah Mas Nadim, yang berhasil membuat saya penasaran.

Akhirnya, sebagaimana Mas Nadim utarakan, ia telah banyak mengeluarkan kebijakan. Terlebih saat wabah covid melanda. Ia dan tim besarnya, dengan cepat mengambil kebijakan-kebijakan yang diharapkan menjadi solusi terbaik. Namun, sebanyak dan secepat apa pun kebijakan yang telah dikeluarkan, saya masih merasakan bahwa semuanya belum menyentuh pada hal-hal yang lebih mendasar: “keadilan yang nyata di dunia pendidikan Indonesia”.

Owh iya, hampir-hampir saya lupa dengan pewawancara kita: Mas Ade. Mohon maaf, sampe di penghujung, saya benar-benar lupa.

Tapi.. Saya maklumi kenapa saya “nyaris” lupa.

Bagaimana tidak lupa, selama satu jam lebih ia memandu acara, saya sama sekali tidak melihat sosok Mas Ade. Ya, benar! Di dalam video wawancara itu saya tidak melihat sosok Mas Ade, yang selalu tampil kritis. Saya tidak ingin kalau sampai Mas Ade sebenarnya punya bakat terpendam menjadi yes man.

Wallahu a’lamu.

 

Oleh: Ustadz Muhammad Bisyri, Ketua Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Daarul Qur’an