Kyai-Santri Connection

0
305

Kyai dan santri merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, adanya kyai disebabkan adanya santri begitu juga sebaliknya. Tetapi saat ini antara kyai dan santri menjadi lahan sasaran para politisi dalam membangun basis dukungan politik. Pada setiap pemilihan umum (Pemilu), maka suara kyai dan santri selalu diperebutkan bukan saja oleh partai-partai politik berbasis Islam, melainkan juga partai-partai politik berbasis nasionalis. Dalam upaya meraup simpati dari kalangan Islam yang menjadi pengikut setia kyai, banyak partai politik yang menempatkan kyai dan tokoh pesantren pada jajaran pengurus partai dengan harapan dapat menjadi vote getter dalam pemilu.

Zamakhsyari Dhofier memahami istilah santri sebagai murid yang mengikuti pelajaran di Pesantren. Dengan demikian santri merupakan salah satu elemen terpenting pesantren sehingga besar kecilnya sebuah pesantren salah satunya ditentukan dari banyak sedikitnya santri yang belajar di pesantren tersebut. Berbeda dengan itu, Geertz dan Ricklefs menekankan istilah santri lebih pada penggolongan masyarakat Jawa menurut tingkat ketaatan menjalankan ajaran agama. Dalam pengertian ini Ahmad Basso lebih luas menjelaskan bahwa santri melampau pengertian nyantri di sebuah pesantren sebagaimana yang dipahami Dhofier.   Sebagai sebuah identitas sosial, ungkap Baso, santri melekat seumur hidup pada diri seseorang. Artinya, menjadi santri adalah juga berarti proses pembelajaran dan pengajaran yang tidak pernah berhenti seumur hidup.

Gagasan bahwa menjadi santri itu merupakan proses yang berlangsung sepanjang hayat telah diaminkan jauh-jauh hari oleh K.H. Imam Zarkasyi. Salah satu Trimurti (pendiri) Pondok Modern Gontor itu pernah mengatakan kepada para santri-santrinya bahwa kesuksesan para santri adalah ketika ia mampu membangun kampungnya (menjadi Kiai kampung).  Maka, masyarakat adalah ujian sebenarnya dari kualitas seorang santri, santri berasal dari masyarakat dan akan kembali ke masyarakat.

Dengan demikian, jika Dhofier begitu mengait-eratkan identitas santri pada pesantren, namun sejarah mencatat hal yang tidak demikian. Banyak orang yang memiliki pengetahuan agama mendalam dan mempraktikkan ajaran agama secara konsisten yang lahir bukan dari rahim lembaga pesantren. Di masa lalu banyak tokoh-tokoh santri modernis yang memiliki latar belakang pendidikan Belanda. Fenomena seperti ini juga muncul di era Indonesia kontemporer. Yon Machmudi dan Ahmad Khoirul Fata menyebut mereka ini sebagai “santri baru” dengan karakternya yang konvergen, “radikal”, dan global. Kehadiran “Santri Baru” ini telah menantang status quo “Santri Lama” dalam hal otoritas agama. Meski tampak bertentangan, sesungguhnya kaum “santri lama” dan “santri baru” itu memiliki ikatan dan akar yang satu.

Kesatuan Akar Santri

Islamisasi Nusantara berjalan tidak serta merta. Azyumardi Azra mengungkap terjadi proses yang dinamis dan bertahap dalam bentuk gelombang pembaharuan, baik pembaharuan paham keagamaan maupun pembaharuan bidang sosial dan politik. Para ulama memiliki andil besar dalam proses ini. Ulama Nusantara pada masa itu antara lain Nurrudin Al Raniri (w.1068/1658), “˜Abd Al Ra’uf Al Sinkili (1024-1105/1615-1730) dan Muhammad Yusuf Al Makassari (1037-1111/1627-1699), Syekh Burhanudin Ulakan (w. 1100 H/1680 M), Syekh Arsyad Al Banjari (w.1777), dan lainnya.

Sementara jaringan ulama beserta langkah pembaharuan yang dilakukan oleh para ulama di wilayah Melayu-Indonesia pada abad 17 dan 18 banyak dilakukan oleh Ulama Aceh di bawah Teuku Cik Di Tiro, Teku Umar, Cut Nyak Dien, ulama-ulama Padri di bawah komando Tuanku Imam Bondjol (Padang Minangkabau), Pangeran Diponegoro dan Kiai Mojo di Tanah Jawa, Sayyid Idrus Sulawesi, Syekh Arsyad Al Banjari Kalimantan, Haji Wasid dan H Abdul Karim Banten, banyak membentuk pola pemberontakan lokal dan belum meluas serentak se tanah air dalam melawan kolonialisme.

Azra menambahkan, Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan, seorang mufti agung Makkah pada abad ke-19 yang telah membuka pintu bagi ulama-ulama nusantara untuk berkiprah dan memancangkan komunitasnya di Haramain dan berjejaring dengan ulama-santri di Nusantara. Sebagian ada yang menyemai di Haramain untuk menampung para santri yang datang dari berbagai penjuru nusantara, sebagian kembali ke Nusantara untuk menjadi poros dan mengokohkan bergeraknya jejaring yang telah dibangun.

Dari Kalimantan muncul Syekh Khatib As Sambasi, Syekh Arsyad Al Banjari dan Syekh Nafi Al Banjari, dari Sumatera muncul Syekh Ismail al Minangkawi, Syekh Abdusshommad Al Falimbani dan Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi, Syaikh Abdul Wahab Sandenreng Daeng Bunga Bugis, dari Jawa muncul Syekh Ahmad an Nahrawi al Banyumasi, Syekh Juned al Batawi, Syaikh Abdur rahman al Mishri, Syekh Nawawi al Bantani, Syeikh Agung Asnawi bin Syeikh Abdurahman Caringin al Bantani, Syekh Mahfudz Termas, Syekh Abdul Karim al Bantani, dan dari Nusa Tenggara Barat menghadirkan Syekh Abdul Gani Bima pada abad ke-19 yang berada di Masjidil Haram Makkah menjadi poros bagi ulama-ulama nusantara.

Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi merupakan guru bagi para pembaharu Islam di Indonesia abad ke 20. KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, Haji Abdul Karim Amrullah (ayah Hamka), dan H Agus Salim merupakan tokoh-tokoh pembaharu dan pergerakan Islam abad 20 yang lahir dari didikan al-Minangkabawi. Ahmad Dahlan berjuang melalui Muhammadiyah. Hasyim Asy’ari melahirkan Nahdlatul Ulama (NU). Sementara KH Ahmad Sanusi dengan Persatuan Islam (Persis), Tuan Guru Zainuddin bin Abdul Madjid Al Al Fancuri (Tuan Guru Pancor, Lombok Nusa Tenggara Barat) dengan mendirikan Nahdlatul Wathan, Sayid Idrus dengan Al Khairat di Palu (Sulawesi), Syekh Nafi dengan Darussalam di Banjarmasin. Jejaring ulama Betawi-Bekasi (Guru Mansyur Jembatan Lima, Guru Mughni Kuningan, Guru Mujtaba, Guru Mahmud, Guru, Khalid, Guru Marzuki, KH Noer Ali Bekasi, Syaikh Muhajirin Amsar ad-Dari). Haji Abdul Karim Amrullah mendirikan Sumatera Thawalib. Putranya, HAMKA, menjadi tokoh pembaharu yang aktif di Muhammadiyah dan Masyumi.

Sementara Agus Salim merupakan tokoh Sarekat Islam dan guru bagi tokoh-tokoh pembaharu muda seperti Mohamad Roem, Kasman Singodimedjo, Prawoto Mangkusasmito, Jusuf Wibisono, M Natsir, dan lain-lain, terutama melalui organisasi Jong Islamieten Bond (JIB).  Di kemudian hari, anak-anak didik Agus Salim ini menjadi tokoh utama Masyumi. Pasca Masyumi, mereka pun berjuang melalui wadah baru, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).

Dengan demikian, pembaharuan yang terjadi di Indonesia ini memiliki simpul yang satu dan mata rantai yang sambung-bersambung (sanad ilmu: mata rantai keilmuan) antara “santri lama” dan “santri baru”dengan pusat pertumbuhan dan perkembangan Islam di Timur Tengah. Santri-Kyai Connection, demikian sebutan lain dalam jejaring antara Kyai dan Santri yang terbangun secara spiritual dan sosial yang sudah kuat. Dan silsilah mata rantai itu mengerucut ke satu guru sampai ke Rasulullah saw.

Di tengah silang sengkarut politik yang mengoyak keutuhan jaringan kaum santri tersebut, kiranya perlu untuk kembali diingatkan pada titik simpul yang sama; bahwa para kyai-santri yang sedang bersengketa akibat tarikan-tarikan politik praktis itu sesungguhnya masih bersaudara. Perbedaan-perbedaan yang tampak bukanlah di ranah isi substansi, namun lebih pada asesori luar. Menarik kembali ke akar yang sama ini harus segera dilakukan untuk meredam konflik yang terjadi agar umat tidak terus menerus menjadi obyek dan korban, baik di bidang politik maupun ekonomi. Maka melalui Kyai – Santri Connection mengerucut menjadi satu kesatuan dalam satu tarikan nafas dalam menyelaraskan keberlangsungan menuju kehidupan berbangsa dan beragama bahkan merampungkan kesejahteraan sosial dan menyudahi pertarungan santri lama dan santri baru.

Oleh: Dr. Mahfud Fauzi, M. Pd., Kepala Biro Fullday Daquschool