Oleh KH Ahmad Kosasih, Dewan Syariah Daarul Qur’an
Tanya: Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Kyai, tolong jelaskan perlunya mudik menurut pandangan Islam. Terima kasih. Wassalam.
Jawab:
Secara lughawi (bahasa), ‘’mudik’’ berasal dari kata “udik”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ia berarti ‘’sungai di sebelah atas (arah dekat sumber) atau (daerah) di hulu sungai’’. Konotasinya adalah sumber yang orisinil dan jernih, yang bisa dimaknai sebagai orangtua, keluarga, atau kampung halaman.
Dalam konteks ini, silaturahim adalah ajang untuk menjernihkan dan menyambungkan (clearing) hubungan. Sebagaimana dikatakan Nabi SAW: ‘’Bersilaturahim adalah menyambung yang putus’’ (HR Bukhari). Selanjutnya, kesinambungan hubungan berdampak pada tersambungnya (bertambah) usia dan rejeki.
Mudik juga obat mujarab untuk kelelahan jiwa yang diderita para insan di rantau, terutama kaum marginal. Clinard dalam bukunya Slums and Community Development mengatakan, kaum urban kelas bawah merupakan kelompok masyarakat yang secara sosial dicampakkan, secara budaya dihina, secara ekonomi diperas, secara politik dimanfaatkan, dan oleh masyarakat yang telah mapan mereka ditekan.
Nah, dengan mudik, kaum urban jelata kembali ke habitat asli, yang langka mereka temukan di rantau. Yakni, hidup saling mengenal dan menumbuhkan semangat kebersamaan (in group feeling). Habitat yang menimbulkan perasaan aman, damai, dan tenteram. Di tengah kerabat dan sahabat sekampung, mereka merasa di-wongke kembali.
Bagi yang ‘’sukses’’ di rantau, mudik bisa menjadi semacam ‘’pembuktian diri’’. Tak ada salahnya pemudik menampakkan sukses yang diraihnya di rantau selama ini, asalkan tidak bermuatan riya’, ujub, tabdzir, yang berpotensi memicu social jealous. Sebab, menampakkan sukses dapat merupakan salah satu cara mensyukuri nikmat Allah. Sebagaimana firman-Nya: ‘’Adapun nikmat Tuhanmu maka kabarkanlah’’ (QS 93:11). Demikian juga wasiat Rasulullah SAW: ‘’Allah senang melihat nikmat-Nya (ditampakkan) oleh hamba-Nya.’’
Dengan segenap maknanya itu, tak heran bila mudik menjadi ritual massal tahunan. Meskipun perjalanan pulang kampung ini sangat berat secara fisik, kejiwaan, maupun finansial, ia tetap menjadi tradisi. Belasan juta orang tahun ini diperkirakan mudik dengan menggunakan berbagai moda transportasi.
Namun, ‘’udik’’ menurut KBBI juga berarti ‘’desa, dusun, kampung (lawan dari kota)’’, yang berkonotasi negatif seperti tidak tahu tata krama nasional, ketinggalan jaman, norak. ‘’Ndeso,’’ kata Tukul Arwana.
Makna bahasa itu mengingatkan, mudik juga berpotensi buruk. Misalnya, menghalalkan segala cara untuk bisa pulang kampung dan tiba di sana secepatnya. Adab safar seperti kemuhriman, keselamatan, kepedulian, toleransi sesama musafir, dan sebagainya, terabaikan. Saling potong jalan, saling salip, perang klakson, tawur umpatan, acap mewarnai lalulintas mudik yang crowded.
Bahkan sebagian orang mengorbankan the last ten days of Ramadhan demi mudik. Puasa tidak, sholat enggak, tarawih pun bablas. Padahal, sepuluh hari terakhir Bulan Suci sangat istimewa. Terselip di dalamnya, satu malam yang lebih baik dari seribu bulan (lailatul qodar). Karena itulah Rasullah SAW sekalipun, yang maksum dan dijamin masuk surga paling top tanpa hisab, semakin getol beribadah di hari-hari akhir Ramadhan.
Seperti disampaikan Aisyah ra: “Bila masuk sepuluh hari terakhir Ramadhan, Rasulullah SAW mengencangkan kainnya, menjauhkan diri dari menggauli istrinya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya” (HR Bukhari).
Kehadiran pemudik juga bisa membawa bencana. Terungkap dalam seminar internasional mengenai dampak mobilitas penduduk terhadap perubahan sosial (International Migration edisi Juni 1989), bahwa migrasi desa-kota menimbulkan benturan-benturan norma dan nilai di daerah pedesaan. Paulo Coelho, salah satu pemakalah, menyatakan, “Migration has seriously jolted rural traditional values and behavior through the new style introduced by out-migrants.”
Selain berdampak positif terhadap pembangunan desa, pelaku mobilitas ada yang membawa dan menyebarkan kebiasaan buruk ‘’orang kota’’ seperti berjudi, mabuk-mabukan, mencuri, memeras, dan prostitusi. Tradisi warga desa yang santun dan beradab pun perlahan luntur jadinya.
Karena itu, ada baiknya juga memaknai mudik dalam khazanah Bahasa Jawa: mudiko, yang berarti ‘’naik’’. Pulang kampung mestinya membuat pemudik ‘’naik’’ di hadapan Allah SWT maupun umat manusia.
Naik-turunnya derajat manusia di hadapan-Nya, tergantung pada ketakwaan. Dan, Ramadhan bertujuan agar orang beriman semakin takwa. Karena itu, bulan puasa bukanlah bulan untuk memburu sebanyak-banyaknya dunia demi membagus-baguskan penampilan saat lebaran. Sebab, kata Nabi Muhammad SAW, ‘’Allah tidak memandang fisik dan penampilanmu, melainkan takwamu.’’
Selanjutnya, kemaslahatan diri bagi lingkungan adalah pesonal value yang membuat seseorang pantas ’’naik kelas’’ secara sosial. Sebaik-baik manusia, kata Nabi Muhammad SAW, ‘’adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya.’’
Bagi insan nafi’an, kelimpahan rejeki lebaran yang dia raih tak lupa disenggolkan keberkahannya bagi kaum dhuafa. Bukan untuk pamer, gagah-gagahan, jor-joran. Rasul SAW berkata, “Zuhudlah di dunia, niscaya Allah cinta kepadamu. Dan zuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia, niscaya mereka mencintaimu” (HR Ibnu Majah).
Last but not least, mudik –sebagaimana adat ziarah kubur yang menjadi komplemennya—hendaknya menjadi wahana untuk mengingat kematian. Tak kurang dari enambelas kali Al Qur’an menyebut kata raaji’uun, yang artinya mudik ke haribaan Allah SWT, mudik ke kampung akhirat nan kekal.
Jika mudik lebaran begitu kita bela-belain sampai titik keringat, darah, dan airmata serta isi kantong penghabisan, tidakkah kita mengerahkan segala daya upaya hidup terbaik untuk kembali ke kampung akhirat?