BELAJAR UJIAN HIDUP DARI GENTENG

0
50

Oleh: Asep Abdurrahman
Asatidz  SMP Daarul Qur’an Internasional  Tangerang

Genteng. Semua pasti mengenalnya. Benda yang terbuat dari tanah merah ini akan melindungi kita dari terik matahari dan jatuhnya air hujan serta memberikan kenyamanan lain di dalam rumah. Meski terlihat kotor dan kadang ditempatkan disembarang tempat namun jika kita mau perhatikan lebih jauh akan banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari prosesnya terbentuknya sebuah genteng.

Pertama: bahan pembuatan genteng. Genteng yang baik adalah genteng yang bahan dasarnya benar-benar mempunyai kualitas tanah yang baik sehingga pengambilan tanah diambil dari kedalaman  25 centimeter dari permukaan tanah dan itu pun tidak boleh melebihi kedalaman satu meter supaya tidak merusak lingkungan.

Kedua: pembersihan tanah dari material-material pengotor seperti batu, plastik, sampah dll. Setelah cukup bersih baru kemudian diaduk menggunakan campuran air sampai tekstur tanah menyatu saling menguatkan tanpa ada rongga udara di dalamnya.

Ketiga: penggilingan. Bertujuan untuk memperoleh tanah yang homogen dengan partikel-partikel yang lebih halus merata.

Keempat: Pencetakan genteng. Pencetakan genteng dilakukan dengan cara memasukan keweh kedalam mesin cetak press ulir. Sebelum dimasukan, pipihkan dulu keweh dengan cara dipukul-pukul dengan kayu atau dikenal dengan gebleg. Tujuan dari gebleg adalah untuk mendapatkan keweh yang padat dan juga sesuai dengan ukuran mesin press.

Kelima: pengeringan. Ada beberapa tahap yang harus dilewati dalam proses pengeringan genteng. Yang pertama adalah proses pengeringan dengan cara diangin-anginkan. Dimana genteng hasil pengepressan diletakan di dalam rak dalam waktu 2 hari. Dan yang kedua dengan cara dijemur di bawah terik matahari selama kurang lebih 8 jam.

Keenam: Pembakaran. Pembakaran ditungku besar dengan suhu konstan sekitar 900 derajat celcius.

Ketujuah atau terakhir: Pensortiran genteng. Genteng yang sudah dibakar dibawah suhu 900 derajat kemudian dikeluarkan dari tungku besar lalu dipilih mana yang baik dan mana yang mengalami kerusakan. Setelah itu yang baik dipasarkan untuk menaungi atap rumah (dilansir dari www.pabrik-genteng.com).
Itulah proses pembuatan genteng dari mulai pemilihan tanah sampai dengan pembakaran dan pensortiran, semua mengandung bahan renungan hidup untuk kita semua. Ketika genteng lulus ujian maka genteng itu disimpan di tempat yang tertinggi. Bahkan ketika sudah menduduki tempat yang tinggi pun, genteng masih terus diuji dari panasnya terik matahari, hembusan angin kencang, gemercik hujan mengguyur dan sesekali badai yang menyapu, memporak-porandakan genteng menjadi berkeping keping yang tidak layak lagi menjadi pelindung rumah.
Sebagaimana firman Allah SWT dari QS. Al-‘Ankabut ayat 2-3 “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta”.
Insan Beriman Harus diuji

Allah SWT berfirman: Aha-siba al-nâs an yutrakû an yaqûlû âmannâ wahum lâ yuftanûn (apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan: “Kami telah beriman” sedang mereka tidak diuji lagi?. Ada beberapa riwayat mengenai sabab al-nuzûl ayat ini. Meskipun demikian, ayat ini tidak hanya berlaku untuk mereka. Sebab, kata al-nâs memberikan makna umum yang berarti meliputi seluruh manusia.

Kata hasiba dalam ayat ini bermakna zhanna (menduga, mengira). Sedangkan huruf hamzah di depannya merupakan istifhâm (kata tanya). Ibnu Katsir dan Sihabuddin al-Alusi menyimpulkan bahwa istifhâm dalam ayat ini bermakna inkâri (pengingkaran). Bisa juga, sebagaimana dinyatakan al-Syaukani, bermakna li al-taqrî’ wa al-tawbîkh (celaan dan teguran). Artinya, mereka tidak dibiarkan begitu saja mengatakan telah beriman tanpa diuji dan dicoba seperti yang mereka kira. Mereka benar-benar akan diuji untuk membuktikan kebenaran pengakuan iman mereka.

Kata yuftanûn berasal dari kata al-fitnah. Ada beberapa pengertian yang diberikan oleh para mufassir mengenai kata tersebut. Mujahid, sebagaimana dikutip Ibnu Jarir, memaknainya lâ yuftanûn sebagai lâ yubtalûn (mereka diuji). Menurut al-Nasafi, pengertian al-fitnah di sini adalah al-imtihân (ujian) yang berupa taklif-taklif hukum yang berat, seperti kewajiban meninggalkan tanah air dan berjihad melawan musuh; melaksanakan seluruh ketaatan dan meninggalkan syahwat; ditimpa kemiskinan, paceklik, dan berbagai musibah yang melibatkan jiwa dan harta; dan bersabar menghadapi kaum kafir dengan berbagai makar mereka.

Jika dikaitkan dengan nash lainnya, ujian yang diberikan Allah SWT itu tidak selalu dalam bentuk yang berat dan dibenci. Ada juga ujian yang menyenang-kan sebagiamana dalam firman-Nya: Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan yang sebenar-benarnya (QS al-Anbiya’ [21]: 35).

Semua ujian itu berfungsi untuk membuktikan kebenaran iman seseorang. Dijelaskan Ibnu Katsir bahwa ujian yang diberikan itu sesuai dengan kadar keimanan pelakunya. Nabi SAW bersabda: Manusia yang paling berat cobaannya adalah para nabi, kemudian orang-orang shalih, kemudian berikutnya dan berikutnya. Seseorang dicoba sesuai dengan (kadar) agamanya. Ketika dia tetap tegar, maka ditingkatkan cobaannya (HR al-Tirmidzi).
Menurut Ibnu Katsir ayat ini sejalan dengan beberapa ayat lainnya, seperti firman Allah SWT: Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar (QS Ali Imran [3]: 142). Juga QS al-Baqarah [2]: 214.

Selayak manusia beriman pasti Allah SWT akan menghadirkan ujian hidup sebagaimana ibrah yang ada dalam genteng tersebut. Maka bergembiralah bagi sahabat-sahabat semua yang sedang diuji, niscaya Allah SWT akan menempatkan kita ke tempat yang tinggi disisiNya. Mungkin sahabat semua ada yang sedang diuji dengan ketakutan, kelaparan, kekurangan makanan pokok, anak-anak yang belum nurut atas perintah orangtuanya, Guru yang kurang dihargai oleh anak didiknya, tetangga yang menyakiti, pemimpin yang kurang adil, anak didik yang kurang nurut sama gurunya, dan lain sebagainya tetapi yakinlah itu semua adalah salahsatu jalan Allah SWT untuk meninggikan derajat kita disisiNya.Aamiin…

Daftar Bacaan
Al Hasyim, Sayid Ahmad. Tt. Mukhtarol Hadist.Semarang: CV Toha Putra.
ad-Dimasyqi, Maduddin Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyi al-Bushrawi.2006. Tafsir Ibnu Katsir. Terjemah: Abdullah Bin Muhammad. Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i.

WhatsApp Image 2017-04-22 at 08.41.56