Oleh : Siti Amyani, S.Psi
Cerdas emosi merupakan salah satu kunci sukses sosialisasi anak. Emosi adalah luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu singkat. Emosi dapat pula berarti perasaan intens yang ditujukan kepada seseorang atau sesuatu. Emosi dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni emosi positif (seperti gembira, bersyukur, merasa beruntung, tenang, senang dan sebagainya) dan emosi negatif (seperti marah, sedih, tegang, iri hati, merasa bersalah, dan malu).
Banyak orangtua beranggapan perkembangan emosi anak berjalan dengan sendirinya alias tidak perlu distimulasi. Akibatnya, anak jadi tidak mengenali emosi dirinya, akhirnya anak tidak bisa berempati kepada emosi orang lain, anak cenderung mudah terlihat marah-marah kepada teman, pengasuh, atau bahkan kepada orang tuanya sendiri. Padahal seharusnya tidak terjadi jika anak mempunyai kemampuan mengendalikan emosinya.
Namun, bila ini terjadi, boleh jadi anak akan menemui kesulitan saat harus bersosialisasi dengan teman-temannya. Ia menjadi sosok yang tidak disukai teman-temannya karena dianggap sebagai pemarah, tidak peka terhadap kondisi teman, sulit berempati atau berbagi, sulit beradaptasi, dan dianggap sebagai sosok yang tidak sopan, tidak menyenangkan dan menyebalkan. Maka dari itu, orangtua harus menghilangi anggapan bahwa perkembangan emosi anak itu berjalan seiring dengan waktu. Perkembangan emosi pada anak melalui dan mengalami beberapa fase.
Pada bayi hingga 18 bulan, bayi butuh belajar dan mengetahui bahwa lingkungan di sekitarnya aman dan familiar. Perlakuan yang diterima pada fase ini berperan dalam membentuk rasa percaya diri, cara pandangnya terhadap orang lain serta interaksi dengan orang lain. Pada minggu ketiga atau keempat bayi mulai tersenyum jika ia merasa nyaman dan tenang. Minggu kedelapan ia mulai tersenyum jika melihat wajah dan suara orang di sekitarnya. Pada bulan keempat sampai kedelapan bayi mulai belajar mengekspresikan emosi seperti gembira, terkejut, marah dan takut. Pada bulan ke-12 sampai 15, ketergantungan bayi pada orang yang merawatnya akan semakin besar. Ia akan gelisah jika ia dihampiri orang asing yang belum dikenalnya. Pada umur 18 bulan bayi mulai mengamati dan meniru reaksi emosi yang di tunjukan orangorang yang berada di sekitar dalam merespon kejadian tertentu.
Usia 18 bulan sampai 3 tahun. Pada fase ini, anak mulai mencari-cari aturan dan batasan yang berlaku di lingkungannya. Ia mulai melihat akibat perilaku dan perbuatannya yang akan banyak mempengaruhi perasaan dalam menyikapi posisinya di lingkungan. Fase ini anak belajar membedakan cara benar dan salah dalam mewujudkan keinginannya. Pada anak usia dua tahun belum mampu menggunakan banyak kata untuk mengekspresikan emosinya. Namun ia akan memahami keterkaitan ekspresi wajah dengan emosi dan perasaan. Pada fase ini orang tua dapat membantu anak mengekspresikan emosi dengan bahasa verbal. Caranya orangtua menerjemahkan mimik dan ekspresi wajah dengan bahasa verbal. Pada usia antara 2 sampai 3 tahun anak mulai mampu mengekspresikan emosinya dengan bahasa verbal. Anak mulai beradaptasi dengan kegagalan, anak mulai mengendalikan prilaku dan menguasai diri.
Usia antara 3 sampai 5 tahun. Pada fase ini anak mulai mempelajari kemampuan untuk mengambil inisiatif sendiri. Anak mulai belajar dan menjalin hubungan pertemanan yang baik dengan anak lain, bergurau dan melucu serta mulai mampu merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Pada fase ini untuk pertama kali anak mampu memahami bahwa satu peristiwa bisa menimbulkan reaksi emosional yang berbeda pada beberapa orang.
Usia antara 5 sampai 12 tahun. Pada usia 5-6 anak mulai mempelajari kaidah dan aturan yang berlaku. Anak mempelajari konsep keadilan dan rahasia. Anak mulai mampu menjaga rahasia. Ini adalah keterampilan yang menuntut kemampuan untuk menyembunyikan informasiinformasi secara. Anak usia 7-8 tahun perkembangan emosi pada masa ini anak telah menginternalisasikan rasa malu dan bangga. Anak dapat menverbalisasikan konflik emosi yang dialaminya. Semakin bertambah usia anak, anak semakin menyadari perasaan dirinya dan orang lain. Anak usia 9-10 tahun anak dapat mengatur ekspresi emosi dalam situasi sosial dan dapat berespon terhadap distress emosional yang terjadi pada orang lain. Selain itu dapat mengontrol emosi negatif seperti takut dan sedih. Anak belajar apa yang membuat dirinya sedih, marah atau takut sehingga belajar beradaptasi agar emosi tersebut dapat dikontrol. Pada masa usia 11-12 tahun, pengertian anak tentang baik-buruk, tentang norma-norma aturan serta nilai-nilai yang berlaku di lingkungannya menjadi bertambah dan juga lebih fleksibel, tidak sekaku saat di usia kanak-kanak awal. Mereka mulai memahami bahwa penilaian baik-buruk atau aturan-aturan dapat diubah tergantung dari keadaan atau situasi munculnya perilaku tersebut. Nuansa emosi mereka juga makin beragam.
Fungsi dan peranan emosi pada perkembangan anak, merupakan bentuk komunikasi, emosi berperan dalam mempengaruhi kepribadian dan penyesuaian diri anak dengan lingkungan sosialnya, emosi dapat mempengaruhi iklim psikologis lingkungan, tingkah laku yang sama dan ditampilkan secara berulang dapat menjadi satu kebiasaan, dan ketegangan emosi yang di miliki anak dapat menghambat aktivitas motorik dan mental anak.
Di lain pihak, banyak orang tua yang tidak mengenal emosi anaknya. Akibatnya, terjadilah hambatan komunikasi: anak ingin sesuatu, tetapi orangtua menangkapnya berbeda. Ujung-ujungnya hubungan orangtua-anak pun tidak mesra. Dampaknya banyak hal yang seharusnya berjalan mulus, tetapi karena terjadi kesalahpahaman komunikasi, akhirnya jadi menimbulkan konflik. Contoh, anak sedih karena berselisih dengan temannya. Meski sudah menunjukkan muka cemberut saat pulang sekolah, orangtua tak juga memahaminya, malah menyuruh anak melakukan sesuatu yang membuat anak semakin merasa kesal. Akibatnya, seisi rumah jadi sasaran uring-uringan si anak. Hal itu tidak perlu terjadi kalau saja orangtua mengenal emosi anaknya dengan baik. Ia tahu kapan anak sedang gembira, kapan sedih, kapan marah, hanya dengan melihat ekspresi mukanya. Jadi, ia tidak perlu melakukan hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan dan membuat kesal orang serumah. Dengan mengenal emosi anak, orangtua justru bisa melakukan langkah antisipasi. Ketika anak menunjukkan muka marah, alihkan dulu perhatiannya pada hal-hal yangg menyenangkan, setelah kemarahannya mereda barulah ajak ia membicarakan permasalahannya.
Sebaliknya anak perlu dilatih untuk mengenali emosi orangtuanya. Ia tahu kapan mood orangtuanya bagus, kapan tidak. Seringkali terjadi, orangtua sedang banyak persoalan, tetapi karena ketidaktahuannya, si anak justru meminta perhatian lebih dengan melakukan hal-hal yang membuat orangtua semakin emosional. Akibatnya, tanpa disadari anak menjadi sasaran kemarahan orangtuanya. Tak demikian halnya bila setiap pihak mengenali emosi masing-masing, hubungan orangtua dan anak dapat dijaga keharmonisannya. Prinsipnya, sama dengan tahapan perkembangan lainnya, kemampuan emosi anak juga harus distimulasi agar dapat dikendalikan, namun sebelum mengasah kepekaan emosi anak, orangtua harusnya sudah bisa mengenal dan mengendalikan emosinya sendiri. Sederhananya, bagaimana mungkin orangtua mengajari anak mengendalikan emosi sementara ia sendiri sering kehilangan kontrol atas emosinya? Ini akan menjadi contoh langsung yang lebih mudah ditiru anak. Jadi, langkah pertama adalah menjadi contoh yang baik bagi anak. Dengan mengetahui apa yang dirasakan, lebih mudah bagi anak untuk mengendalikan emosinya. Sebagai gambaran, seringkali anak uring-uringan tidak jelas, maunya marah-marah saja meski permintaannya sudah dituruti. Hal ini terjadi karena anak tidak mengenal dengan baik apa yang dirasakan saat itu. Orangtua diharapkan bisa membantu anak dengan mengidentifikasi perasaannya. ‘Oh, Kakak kesal ya, karena mainanmu dirusak adik? Yuk, Mama bantu perbaiki. Mama akan minta adik untuk minta maaf.”Tunjukkan pada anak beberapa alternatif penyaluran emosi secara positif. Kalau kesal karena diejek teman, katakan bahwa mengejek memang tidak baik. Ajari anak untuk berani mengungkapkan kepada si pengejek bahwa ia tidak suka diejek. Jika tak mempan, ajak anak untuk mencari teman lain yang baik dan tak menanggapi ejekan itu.
Sebenarnya kalau orangtua bisa memberikan contoh secara konsisten, dengan sendirinya anak akan meniru. Jadikan pengendalian emosi sebagai kebiasaan positif yang dilakukan oleh orang serumah. Sesekali sedih, marah, atau kecewa itu manusiawi, yang penting tidak mengumbarnya secara berlebihan. Begitu pun untuk emosi positif seperti gembira, bahagia dan sebagainya, sebaiknya juga diekspresikan dengan cara tak berlebihan, yang membuat orang lain terganggu. Teruslah latih anak untuk mengenal dan mengendalikan emosinya. Kemampuan ini akan terus meningkat dan pada gilirannya akan membuat si anak cerdas emosi, dengan ciri-ciri antara lain:
• Mampu mengekspresikan emosinya dengan baik sekaligus mampu menahan emosi orang lain.
• Mudah beradaptasi di lingkungan baru.
• Mudah berempati pada orang lain.
• Disukai lingkungan/temannya banyak.
• Mampu mencari jalan keluar dari permasalahan yang dihadapinya.
• Gigih/tidak mudah menyerah.
• Penolong.
• Menghormati orang lain.
Bila ciri-ciri di atas sudah melekat pada diri anak, dapat dibayangkan orangtua pasti bangga dan senang. Anak dapat bersosialisasi dengan baik, selain itu juga disukai oleh teman-temannya. Karena itu, tidak ada kata terlambat untuk melatih emosi anak, berapapun usianya. Gunakan metode yang telah dicontohkan di atas secara konsisten. Jangan bosan meski hasilnya tak kunjung memuaskan. Orangtua tentu tidak ingin anaknya tumbuh sebagai pribadi yang tidak matang emosinya: mudah marah, emosional, tidak bisa mengendalikan kesedihan/kegembiraan, tidak disukai lingkungan, dan seterusnya. Dalam jangka pendek maupun panjang tentu akan merugikan anak sendiri.
Dapat disimpulkan bahwa anak memiliki tahap-tahap perkembangan emosi dan setiap tahapnya memiliki keunikan tersendiri.
Setiap tahap perkembangan emosi, orangtua dan guru harus mengetahui. Agar tidak ada penyimpangan seperti kekerasan pada anak. Hak-hak anak dalam perkembangannya harus dipenuhi untuk memaksimalkan kecerdasan emosinya. Orangtua agar mengetahui faktor-faktor yang dapat memengaruhi perkembangan emosi pada anak.