Oleh: Hendy Irawan Saleh
Seorang guru tak lekang dari ingatan. Sering kita dengar celotehan kawan-kawan saat reuni di almamater tentang guru. “Oh, saya masih ingat beliau pernah ngajar saya.” Atau tiba-tiba kita berjumpa sosok yang rasanya kita kenal, lalu kita hampiri sambil berkata, “Ustadz…afwan Antum Ustadz Lukman kan? Saya Dodi, Stadz… murid Antum dulu waktu di madrasah. Antum mengajar Ilmu Akhlaq kelas 3 Ibtidaiyah.”
Lalu guru kita bilang, “Wah, Saya lupa tuch, alhamdulillah kalau gitu.”
Dialog ini seperti mengajari kita, bahwa seorang murid biasanya ingat pernah dididik oleh guru A, atau pernah diingatkan oleh guru B. Bahkan pernah dibentak oleh Kyai Fulan. Dan kenangan itu seperti masih terasa, saat kita sudah menikmati kesuksesan, atau sebaliknya na’udzubillah.
Itulah guru, ustadz, kyai atau mentor. Yang selalu berada di “urutan belakang” di balik sebuah prestasi muridnya. Namun ironi ini tak pernah mereka komplain, karena sejatinya tanpa tanda jasa semakin mengikhkaskan hati mereka dalam mendidik. Kebanggaannya adalah saat muridnya atau santrinya lebih baik dari dia. Lebih baik akademisnya, lebih baik prestasinya, moralnya, bahkan lebih baik nasib hidupnya.
Gurulah sebagai pondasi bangsa. Maka ketika hendak memulai restorasi negeri setelah dihancurkan bom atom, Kaisar Jepang bertanya, “Ada berapa guru yang tersisa?” Bukan berapa samurai yang masih siaga. Betapa visionernya sang kaisar.
Lebih visioner lagi Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Sejak 14 abad lalu beliau sudah mendeclare bahwa beliau seorang pendidik. Seorang coach. Yang menghasilkan para sahabat radhiyallahu anhu. Para imam, para ulama yang tetap berpegang teguh pada ajarannya.
َإِنَّمَا بُعِثْتُ مُعَلِّماً
“Sesungguhnya aku diutus sebagai pendidik” (HR. Ibnu Majah dari Ibnu Amru ra).
Adakah diantara kita yang bercita -cita jadi guru? Mungkin ada tapi tidak banyak. Sebab, menjadi guru harus utuh..harus “kaaffah” sehingga kekafahan jiwa dalam mengajar akan menuai hasil sesuai visi guru itu. Visi yang lebih dari sekedar mengajar (transfer knowledge) tapi lebih dari itu bergerak lebih visoner yaitu guru sebagai pendidik, guru sebagai contoh yang dapat dilihat. Bukan didialam kelas saja melainkan justru di luar bangku belajar. Guru Yang bertransformasi from teaching to coaching.
Never ending coaching istilahnya. Karena pendidikan setelah kelas itulah yang lebih menghasilkan. Sebab terjun langsung dalam aplikasi ilmu (baca: praktek) seringkali menghadirkan ide-ide baru dalam berkesaharian. Boleh jadi experience is the best teacher. But the best teacher give many experiences.
Belajarlah, terdidiklah, terinspirasilah dari seorang guru. Karena 1 guru memiliki banyak pengalaman untuk kita serap. Kalaulah budi mereka tak pernah surut oleh zaman, lalu bagaimana dengan pahala yang mengalir hingga hari akhir? Apalagi guru ngaji Al-Quran, betapa mulianya para guru.
Selamat Hari Guru untukmu wahai Para kyai, ustadz, guru, mentor, pembina.
Teruntuk pahlawan kehidupan kami. Atas budi baikmu, terimalah doa yang terus kami hantarkan untuk kebahagiaanmu sekeluarga.