Dalam budaya pesantren, selain belajar, santri juga diminta mengajarkan apa yang telah dipelajari di pondok. Upaya ini sekaligus bentuk implementasi dari menuntut ilmu dan mengamalkannya.
Salah satu program untuk mengasah kemampuan mengajar santri adalah Amaliyah Tadris. Program ini baru pertama kali digelar di Direktorat Pendidikan Daarul Qur’an, tepatnya dilaksanakan di Pesantren Tahfizh Daarul Qur’an Al-Jannah Cariu, Kab. Bogor.
Amaliyah Tadris, seperti terjemahan dalam Bahasa Indonesianya, merupakan kegiatan santri dalam mengimplementasikan cara mengajar di hadapan santri lainnya. Di Pesantren Daqu, program ini dikhususkan untuk santri kelas 6 atau setingkat 12 SMA.
Program ini digelar satu pekan, mulai Senin (21/2) hingga Minggu (27/2). Amaliyah Tadris dilaksanakan di ruang kelas. Para santri dibagi tiap kelompok. Satu orang akan diuji mengajar, sementara lainnya mengisi form sebagai naqd atau evaluasi. Santri yang diuji mengajar bisa menggunakan salah satu dari dua bahasa, yakni Arab atau Inggris.
Namun, sebelumnya santri yang akan diuji harus menyerahkan bahan ajar pada para musrif atau pembina. Bahan ajar tersebut juga berguna sebagai materi evaluasi.
Setelah praktik mengajar selesai, santri yang diuji bersama kelompoknya berkumpul dengan musrif masing-masing. Selanjutnya, hasil praktik mengajar tersebut dievaluasi, baik oleh musrif maupun santri lain di kelompok tersebut.
Dalam sambutan di pembukaan kegiatan ini (21/2), Pimpinan Daarul Qur’an Direktorat Pendidikan, KH Ahmad Jamil, menerangkan bagaimana seorang santri berkewajiban pula menjadi guru. Karena kelak mereka lah yang ikut menciptakan generasi gemilang selanjutnya.
“(Karena itu) guru harus punya ruh, spirit, menguasai materi, juga memiliki metodologi yang tepat dalam mengajar,” papar Kyai Jamil.
Dengan praktik mengajar ini, beliau berharap para santri bisa menjadi guru yang ikhlas sekaligus profesional.
Meski baru, Amaliyah Tadris nantinya menjadi syarat kelulusan santri, khususnya yang menerapkan program pesantren muadalah atau Tarbiyatul Mualimin Al-Islamiyah (TMI), seperti di Pesantren Daqu Al-Jannah Cariu. Hal tersebut seperti yang diungkap Kepala Biro Penelitian dan Pengambengan (Litbang), Direktorat Pendidikan Daarul Qur’an, Ustadz Sobri M. Rizal.
“Alhamdulillah ini sekaligus akan membentuk mental para santri untuk bisa mengajar dan mengimplementasikan ilmu yang didapat,” terang Ustadz Sobri.
Salah satu santri, Mu’adz, merasakan manfaat dari Amaliyah Tadris ini. Meski begitu, ia mengaku tak mudah melakukannya karena ini adalah pengalaman pertamanya.
“Sampai beberapa kali balik ke musrif dulu untuk revisi bahan ajarnya. Kurang lebih persiapannya satu bulan,” terang santri Pesantren Daqu Al-Jannah Cariu asa Jakarta ini.
Hal serupa dirasakan Hakim. Namun, menurut santri asal Cikarang ini, Amaliyah Tadris menjadi awal yang bagus bagi para santri dalam mengajar, terutama karena mereka juga punya kewajiban menyebarkan ilmu yang didapat di pondok.
“Harapannya kegiatan ini akan terus berlangsung setiap tahun. Sehingga para santri bisa lebih mahir lagi,” tukasnya.