Kisah Kasih Ibu Sebuah Curahan Anak Pesantren

0
68

Oleh : Mahfud Fauzi

“Assalamualaikum, apa kabar?Sehat ya Nak? Bunda kemaren sudah transfer uang untuk bulan ini, Nak. Gimana kabar belajarnya, Nak?”Demikian petikan suara sang bunda ketika menghubungi putranya yang sedang mondok.

“Baik Bunda, Bunda sendiri gimana kabarnya? Ayah dimana sekarang, Bunda? Aku mau ngobrol kangen dengan Ayah, Bunda dan Adek,“ jawab sang anak.

“Ini Ayah, Nak. Gimana, Nak, apa kamu nggak kangen sama kami di rumah?” Canda ayah menggoda sang anak.

“He he he he, aku ndak kangen yang di rumah. Karena aku sudah bawa foto Ayah, Bunda dan Adek, diselipkan di lemariku di pondok. He he he,”sang anak menjawab.

“Waduh kok baru cerita toh, Nak?” Sang ayah kaget dengan mata berkaca-kaca….

Sang Ibu, dipagi hari, ibu bersiap bekerja mencari sesuap nasi. Disiang bolong, sang ibu mengipas-ngipas teriknya matahari. Kemudian, seiring berakhirnya waktu ashar, adalah waktu ia untuk kembali. Begitu sang ibu melewati hari-hari.

Hingga tibalah di tengah bulan, sang ibu bersiap berhitung untuk memenuhi kebutuhan. Bukan hanya kebutuhan sehari-hari, tapi juga kebutuhan sang anak yang sedang pergi nyantri. Entah uang tersebut cukup atau tidak, entah uang tersebut ada atau tidak. Bahkan mungkin terpaksa meminjam sana-sini untuk memenuhi kebutuhan sang anak yang tengah “mendekam di penjara suci”; Menghitung kebutuhan merupakan sebuah pergulatan penuh balutan kasih sang ibu untuk si buah hati. Peras keringat banting tulang. Kepala jadi kaki, kaki jadi kepala, seolah tak ada letihnya.

Bagi sebagian anak yang tinggal di pesantren, maka akan terbentang jarak antara dirinya dengan sang ibu. Jangankan merasakan masakan pagi dan segelas teh manis. Komunikasi jarang apalagi tatap muka.  Namun, yang ada adalah ikatan batin yang kuat yang terbangun lewat doa sang ibu dengan putra tercintanya di pesantren

Tak ada rasa lelah dan letih. Tak ada rasa bersalah untuk menunaikan kewajibannya sebagai sang ibu berdoa pada siang dan malam. Siang malam tergopoh-gopoh mencari uang untuk kiriman bulan berikutnya sang anak. Demikian sang anak  lima kali sehari mendoakan lewat shalat lima waktu, belum lagi doa di shalat duha dan tahajjud. Rangkaian doa antara keduanya itu koneksi yang bisa saja terkabul dalam waktu yang pendek, bisa juga terkabul dalam jangka waktu yang panjang kelak saat masa depannya tiba.

Jadi, hubungan Ibu dengan anak yang mondok di pesantren  tidak lain dan tidak bukan hanya mengandalkan koneksi batin doa saja.

“Ooo… ooo…  bunda ada dan tiada dirimu kan selalu ada di dalam hatiku” demikian penggalan nyanyian Bunda.

Maka melalui tulisan ini, banyak spektrum doa diantara keduanya meledak pada saat kelak sang anak menghadapi masa depannya. Tak pelak, banyak tokoh bangsa, pemimpin bangsa lahir dan dibesarkan dari pesantren.

Itu semua, rangkaian koneksi doa yang deras meledak tak terbatas untuk sang anak dari Ibunya. Sang ibu seolah sudah “Tahu” bahwa doa bisa mengubah segalanya menembus batas, bahkan melampaui jangkauan pikiran manusia. Sebagaimana hadis Nabi bahwa doa bisa mengubah takdir.

[arabic-font]قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرُدُّ الْقَضَاءَ
(الترمذي) إِلَّا الدُّعَاءُ وَلَا يَزِيدُ فِي الْعُمْرِ إِلَّا الْبِرُّ[/arabic-font]

Bersabda Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam: “Tidak ada yang dapat menolak taqdir (ketentuan) Allah ta’aala selain do’a. Dan Tidak ada yang dapat menambah (memperpanjang) umur seseorang selain (perbuatan) baik.” (HR Tirmidzi 2065)

Hebat sekali ibu ini, perempuan yang saat kecil ia membuka pintu buat sang ayah, saat dewasa ia menyempurnakan agama suaminya, dan saat jadi Ibu akhirnya Surga ada di kakinya

[arabic-font]اَلْجَنَّةُ تَحْتَ أَقْدَامِ الأُمَّهَاتِ[/arabic-font]

Melalui hari Ibu ini, mari kita doakan ibu kita masing-masing semoga Ibu kita sehat kuat berkat dunia akhirat, Al Fatihah.