Kesinilah Seharusnya Bermuara

0
55

Oleh : Rino Zeldeni, S.PdI (Waka Kurikulum SD Daqu Kalibata City)

 

Disini, Indonesia, seorang isteri mengirim surat kepada suami yang dirindukannya. Ia pilih amplop terbaik, dengan balutan warna yang menunjukkan betapa besar rasa cintanya pada sang suami. Begitu juga kertas surat yang digunakan, kurang lebih sama seperti amplopnya, dipenuhi lambang cinta dan kasih sayang. Kemudian ia tumpahkan semua rasa rindu dan sayangnya yang paling dalam kepada sang suami dalam bentuk tulisan.

Disana, di Negeri Sakura, Jepang, sang suami menerima surat dari isterinya tercinta. Saat surat ia terima, inilah beberapa hal yang dilakukannya:

Pertama, ia mengukur besarnya amplop, menimbang berat amplop, mengkaji unsur apa saja yang digunakan untuk membuat lem perekat perangko dengan amplop begitu pula lem yang digunakan untuk menutup amplop tadi.

Selanjutnya kertas surat. Dia teliti dengan cermat senyawa yang menghasilkan tinta, bahkan ia mengukur besarnya tekanan pena saat menggoreskan tulisan pada kertas surat, dan sebagainya.

Namun, sangat disayangkan, lelaki ini tidak pernah membaca isi surat tersebut. Setiap kali rekan-rekan kuliahnya di negeri sana bertanya; “Apa yang dikatakan isterimu di dalam surat?” ia hanya menjawab dan mengungkapkan semua hasil penelitian dan kajiannya tadi tanpa bisa menjelaskan betapa besarnya rasa rindu yang bergejolak di hati isterinya di negeri sini.

Apa yang akan Anda katakan menyikapi orang yang demikian? Julukan apa yang akan Anda sandangkan pada lelaki itu?

Mungkin Anda akan katakan lelaki ini aneh, kurang kerjaan atau bahkan, maaf, gila!

Menurut Anda, adakah orang yang seperti itu dimuka bumi ini?

Saya yakin Anda semua akan mengatakan tidak mungkin ada.

Tapi, mari kita renungkan bersama! Sesungguhnya orang-orang yang demikian banyak jumlahnya, bahkan boleh jadi kita adalah salah satu diantara mereka.

Banyak diantara kita yang mengkaji alam raya, tanpa mampu menyingkap apa yang dikehendaki oleh Penciptanya. Kajian hanya sekedar kajian, tidak mampu melahirkan rasa takut kita kepada Allah sang Pencipta.

إنما يخشى الله من عباده العلماء

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hambanya hanyalah orang-orang yang berilmu” (QS. Fathir : 28)

Kajian kita terhadap alam raya, penelitian kita terhadap kodok yang melompat, angin yang berhembus, air yang mengalir, dan sebagainya, tidak bermuara kepada ungkapan ulul albab (baca : orang yang berhati bersih, berfikiran jernih, orang yang cerdas, dan siap menerima semua perintah Allah) :

ربنا ما خلقت هذا باطلا سبحانك فقنا عذاب النار

“Ya Rabb kami sesungguhnya Engkau tidak menciptakan semua ini sia-sia, Maha Suci Engkau, maka jauhkanlah kami dari adzab api neraka” (QS. Ali Imran : 191)

Tanpa kita sadari, kita semua sebagai guru, boleh jadi, turut andil melahirkan generasi yang demikian. Apa yang kita lakukan hanyalah sekedar men-delivery materi kepada siswa-siswi kita saat KBM berlangsung, sesuai dengan SKKD yang di copy dan paste dari internet, tanpa pernah berupaya mengarahkan mereka kepada muara yang seharusnya dari pendidikan itu sendiri.

Alangkah indah dan berbobotnya saat guru Bahasa Indonesia mengajarkan materi menulis, dia katakan kepada seluruh siswa-siswi yang diajarkannya : “Subhanallah Yang menciptakan kedua tangan dan jari jemari sehingga kita bisa menulis”

Atau saat  guru IPA mengajarkan materi fotosintesis, dia selingi dengan ungkapan tasbih, dikuti oleh seluruh siswa memuji betapa telitinya Allah Sang Pencipta menciptakan kita semua.

Mata pelajaran apapun terintegrasi dengan value yang seharusnya; menambah rasa takut kita kepada Allah dan bertasbih memuji kehebatan-Nya mencipta.

Kesinilah seharusnya pendidikan kita bermuara : “Rabbanaa maa khalaqta hadza bathila, subhanaka faqina ‘adzaban naar”