KH Hasan Abdullah Sahal: Selalu Melihat ke Depan tapi Hindari Brain Destroying

0
281

KH Hasan Abdullah Sahal dilahirkan di Desa Gontor, Ponorogo, pada 24 Mei 1947. Putra keenam dari KH Ahmad Sahal, salah satu pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor, ini alumnus Universitas Islam Madinah dan Al-Azhar Cairo. Beliau sekarang salah satu pimpinan Pondok Gontor. Berikut penuturan Kyai Abdullah Sahal dalam Silaturahim Nasional Kyai dan Pimpinan Pesantren Alumni Gontor di Hotel Siti Tangerang, 22 Januari 2016.

Saya tidak punya Twitter, FB, instagram, tapi hari-hari ini gambar saya bertebaran di mana-mana. Gambar saya sedang menendang bola disandingkan dengan Ronaldo. Masalahnya adalah, saya tidak suka Ronaldo, soalnya saya suka Barcelona (sedangkan Christiano Ronaldo bintang kesebelasan Real Madrid, seteru Barcelona –Red).
Tapi lihat dan bandingkan, bagaimana gambar saya dengan Ronaldo. Saat menendang bola, Ronaldo masih melihat bola, sedangkan saya melihat ke depan.
Begitulah kita, Gontor, dalam melihat sesuatu tidak pernah melihat ke bawah apalagi melihat ke belakang. Kita selalu melihat ke depan. Dan kita selalu diajarkan percaya diri. Saya dengan yakin bisa bilang kalau tendangan saya tidak kalah dengan Ronaldo.
Begitulah, Gontor selalu mengajarkan percaya diri dan melihat ke depan.
Maka sejak berdirinya, Pondok Gontor mengambil 4 sintesa perguruan terkemuka di dunia yaitu: Sanggit, Aligarh, Santiniketan, Al-Azhar. Padahal, Gontor hanya ada di desa kecil.
Sejak berdiri Gontor sudah mengajarkan Bahasa Arab dan Inggris, meskipun KH Ahmad Sahal saat itu malah bisanya Bahasa Londo. Artinya apa, kita selalu melihat ke depan.
Maka, saat ini KH Ahmad Sahal akan berkata: “Kami sudah melakukan apa yang sudah Kami lakukan hingga hari ini, dan dari alam kubur Kami akan melihat apa yang akan anak-anakku lakukan untuk Gontor ke depan.”
Pesantren ini terdiri dari tiga hal; keislaman, keilmuan, kemasyarakatan. Maka anak-anak Gontor harus bisa menguasai ketiga hal ini. Dan dari dulu kita katakan, secara keilmuan, Gontor itu 100% ilmu agama, dan 100% ilmu umum. Kita mempelajari ilmu agama 100%, ilmu umum juga 100%.
Hati-hati dengan zaman modern, karena sekarang ini bukan lagi zaman modern, tetapi zaman kebinatangan modern. Sekarang bukan lagi zamannya brainwashing (pencucian otak), tetapi sudah mengarah kepada “brain destroying” (penghancuran otak/pola pikir).
Karena itu, Gontor mengajarkan nilai-nilai yang tidak boleh berubah. Nilai disiplin, keikhlasan, akhlaqul karimah untuk membentengi diri dari zaman kebinatangan modern ini. Maka materi, sistem di Gontor boleh berubah, tetapi nilai tidak boleh berubah.
Kyai itu di atasnya Allah, di bawahnya tanah. Kita itu kuat, besar. Yang membuat kita lemah, takut, ya kita sendiri.
Pesantren itu bukan sarang teroris. Pesantren harus menanggung secara keseluruhan karena beberapa orang dianggap teroris.
Sebenarnya teroris yang lebih berbahaya itu siapa? Kalau negara meneror rakyat, apa itu bukan teroris? Apa itu bukan kejahatan kemanusiaan?
Bangsa Indonesia harus mandiri. Silakan pilih: Kaya tapi dianggap miskin sehingga merasa terus harus dibantu, disuapi, dikasih seperti pengemis; Atau, miskin tapi dianggap kaya sehingga merasa cukup bahkan membantu. Kalau memilih yang pertama, berarti mentalmu masih mental miskin, mental pengemis, mental peminta-minta. Jadi, lebih baik miskin tapi kaya jiwa.
Gusti Allah tidak tidur, akan melihat apa yang kita lakukan. Karena itu, kalau sedang di atas kita tidak boleh sombong, dan pada saat di bawah kita tidak boleh putus asa. Allah SWT pasti akan memberikan pertolongan.
Kata orangtua, anakmu yang nakal, yang sakit, yang bandel, jangan dimarahi, tapi sayangilah. Indonesia ini anak kita, sedang sakit atau sedang sehat? Nah, tetap sayangilah Indonesia dan binalah menjadi benar. Karena dari Gontor kita akan mendidik para pemimpin dunia agar tidak sakit. Karena negara yang sakit akibat pemimpinnya yang sakit. (mahfudz/bowo)