Menjadi Tamu di Masjid Imam Maliki

0
38

Awalnya hanya ingin menumpang shalat, tetapi ujungnya kami dijamu layaknya tamu dan diajak berkeliling masjid.

Kamis, 1 Agustus 2019, pramuka putra Daarul Qur’an mendapat Day off dari seluruh kegiatan di Harleem Jamborete. Itu artinya kami semua bisa berlibur dan keluar dari arena Jambore untuk jalan-jalan di Kota Belanda. Kami memilih Leiden, setelah sebelumnya juga sempat menimbang untuk ke Amsterdam.

Dari lokasi Jambore kami memilih moda transportasi kereta. Kami berangkat dari stasiun Halfweg-Zwanenb dengan menggunakan kereta jenis sprinter untuk selanjutnya turun di stasiun Harleem dan melanjutkan dengan kereta jenis yang lebih besar dengan dua lantai ke stasiun Leiden Central.

Sesampai di Leiden kami disambut dengan pemandangan kota yang bagi kebanyakan santri instragamable. Pada abad ke 17 kota ini merupakan kota terpenting dan terkaya di Belanda. Kota ini dikenal sebagai rumah para pelukis besar seperti Rembrandt. Kini, Leiden dikenal sbegai kota universitas dengan kanal yang indah dan banyak museum serta jalan di kota-kotanya yang dipenuhi kafe dan restaurant.

Sebetulnya ada beberapa lokasi yang ingin kami tuju, pertama perpustakaan Universitas Leiden yang kabarnya banyak menyimpan manuskrip ulama-ulama Indonesia dan juga warung makan yang menjual makanan asli Indonesia. Sayangnya tujuan ke perpustakaan tidak terwujud setelah kami mendapat informasi dibutuhkan kartu perpustakaan untuk masuk ke dalamnya.

Selain dipenuhi pejalan kaki, jalan-jalan kota Leiden disesaki pengendara sepeda. Parkiran sepeda hampir ada di sepanjang jalan. Sepeda memang menjadi satu transportasi utama warga Belanda. Mereka menggunakan sepeda tidak hanya untuk bermain tetapi juga untuk ke kantor, ke sekolah atau universitas dan juga berbelanja. Kita akan menemui sepeda yang sudah terpasang semacam box di bagian belakang atau depannya untuk membawa barang.

Jelang jam 13.00 waktu setempat kami menuju rumah makan masakan Indonesia yang kami cari berbekal google maps. Tidak terlalu sulit mencarinya, kami menyusuri gang-gang kecil dan warung tersebut berada tepat di pertigaan sebuah gang kecil. Pelayan warung yang berasal dari Bogor langsung menyambut kedatangan kami. Ia juga bercerita bahwa sehari sebelumnya ada rombongan pramuka Indonesia yang juga makan disitu.

Tanpa menyiakan kesempatan para santri langsung memilih paket pelajar seharga 10 euro dengan menu nasi goreng atau nasi pedas dengan rendang dan sayur-sayuran lainnya sebagai lauk-pauk.

“Lidah udah kangen masakan nusantara yang kaya akan bumbu dan rempah” ujar Nur Alam, santri kelas 12.

Ketika perut sudah terisi dengan makanan Indonesia, waktunya kita sholat dzuhur dan ashar. Kami mengetik “masjid near me” pada aplikasi google maps dan keluar sejumlah lokasi masjid, hingga akhirnya kami memilih masjid Imam Malik yang terdekat dan berjarak 1,2 km dari tempat kami makan. Langsung berjalan kaki menuju lokasi hingga akhirnya kami menemukan bangunan tidak asing, meski tidak ada kubah tetapi menaranya jelas menandakan itu sebuah masjid. Masjid ini dibangun pada tahun 2012 oleh komunitas masyarakat Maroko di Leiden dan menghabiskan dana hingga 6 juta euro dalam pembangunannya.

Ketika kami masuk areal masjid, shalat jamaah baru saja kelar dan pengurus masjid tengah membersihkan areal masjid untuk persiapan shalat Jumat esok harinya. Pengurus masjid bernama Muhammad menyambut kedatangan kami. Ia mengatur sandal yang kami gunakan untuk berwudhu hingga memberi kami gamis untuk shalat. Kejutan datang seusai kami shalat saat Muhammad menjamu kami dengan kopi, air putih dan teh khas Maroko. Menggunakan bahasa Arab, ustad Dicky Permana menjelaskan kedatangan para santri yang tengah mengikuti even jambore dan menjelaskan para santri merupakan penghagal Alquran. Muhammad terkesima saat Nur Alam membacakan surah Al-Maidah padanya.

Setelahnya kami dikenalkan pada setiap pojok bangunan yang ada di masjid tersebut. Masjid tersebut sangat komplit.

 

Di Lantai bawah ada ruang shalat utama yang juga digunakan oleh kaum pria sementara di lantai dua ada ruang untuk wanita dan anak-anak mengerjakan shalat dan juga belajar serta menghafal Alquran. Masjid ini juga punya ruangan untuk pengurusan jenazah, yang keberadaannya sangat membantu umat islam dalam mengurus jenazah, dan terakhir juga ada kantin yang menjual segala bahan kebutuhan dan keperluan jemaah. Sebagai ungkapan terima kasih atas keramahan Muhammad, kami pun menyempat berbelanja kebutuhan di kantin dari mulai parfum hingga peci, setelahnya kami berpamitan untuk kembali ke camp.

Perjalanan ke Leiden ini benar-benar membawa pengalaman baru bagi para santri. Kami bisa melihat bagaimana tertib dan keramahan warga Belanda yang kerap bertanya dari mana kami berasal. Hingga bagaimana mempertahankan iman islam saat muslim menjadi minoritas.