MENYOAL PERAN DAN FUNGSI GURU DI ERA GLOBALISASI

0
36

Oleh : Asep Abdurrahman

Asatidz  SMP Daarul Qur’an Internasional Tangerang

Saat ini peran dan fungsi guru tengah mengalami perubahan secara drastis dan mendasar sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan serta budaya global yang mengutamakan ilmu dan teknologi, rasio dan panca indra, dan materi yang berbasis anthropo-centris (mengandalkan kemampuan manusia semata) yang mengarah pada sikap hidup materialistik, hedonistik, sekularis, pragmatis, bahkan atheistik.

Dampak era globalisasi yang demikian itu pada tahap selanjutnya mempengaruhi lahirnya perubahan orientasi visi, misi, peran, dan fungsi guru. Penggunaan sains dan teknologi menyebabkan semakin mengecilnya peran dan fungsi guru, karena banyaknya tugas-tugas keguruan seperti penyampaian informasi dan pendidikan keterampilan yang sudah tergantikan teknologi. Demikian pula dimensi “sakralitas” dan “kekudusan” seorang guru makin tergeser. Doa dan nasihatnya kurang lagi dimintakan, karena peran guru beralih menjadi fungsi-fungsi kebendaan, seperti fungsi fasilitator, katalisator, dan mediator (Abuddin Nata: 2012: 304-305).

Jabatan guru sebagai tenaga profesional saat ini lebih dilihat sebagai pekerjaan tukang yang tunduk pada hukum transaksional materialistik, yakni mengukur peran, fungsi, dan tugasnya dari jabatan yang diberikan kepadanya sebagai material atau bayaran yang diberikan kepadanya. Maka hal ini tentu sangat menyedihkan, karena sebagaiman yang kita tahu bahwa tugas dan peran guru sangatlah berpengaruh besar terhadap murid didiknya.

Eksistensi Guru di Era Global

Guru adalah salah satu komponen pendidikan yang memiliki peran dan fungsi yang amat strategis. Dimasa lalu ketika ilmu pengetahuan dan teknologi belum berkembang, sumber belajar masih terbatas, kekuasaan kaum ilmuan dan ulama masih cukup dominan, dan sumber daya alternatif manusia masih terbatas, peran dan fungsi guru masih sangat dominan

Namun pada saat ini peran dan fungsi guru tengah mengalami perubahan secara drastis dan mendasar sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan serta budaya global yang mengutamakan ilmu dan teknologi, rasio dan panca indra, dan materi yang berbasis anthropo-centris (mengandalkan kemampuan manusia semata) yang mengarah pada sikap hidup materialistik, hedonistik, sekularis, pragmatis, bahkan atheistik.

Dampak era globalisasi yang demikian itu pada tahap selanjutnya mempengaruhi lahirnya perubahan orientasi visi, misi, peran, dan fungsi guru. Penggunaan sains dan teknologi menyebabkan semakin mengecilnya peran dan fungsi guru, karena banyaknya tugas-tugas keguruan seperti penyampaian informasi dan pendidikan keterampilan yang sudah tergantikan tekhnologi. Demikian pula dimensi “sakralitas” dan “kekudusan” seorang guru makin tergeser. Doa dan nasihatnya kurang lagi dimintakan, karena peran guru beralih menjadi fungsi-fungsi kebendaan, seperti fungsi fasilitator, katalisator, dan mediator.

Dahulu orang harus menunggu tukang loper koran datang ke rumah untuk mendapatkan informasi terkini.  Saat ini, hanya dengan memainkan jar-jari menyentuh layar handphone, kita sudah mendapatkan berita terkini. Teknologi telah mewarnai seluruh sendi kehidupan manusia saat ini. Pola pikir dan gaya hidup orangtua terekam dengan baik oleh memori anak-anak. Generasi muda yang semenjak lahir telah bersentuhan langsung dengan teknologi , khususnya internet disebut generasi digital native sebagaimana yang dijelaskan oleh majalah suara muhammadiyah dalam rubrik sajian utama yang terbit tanggal 1-15 April edisi nomor 06 Tahun ke- 102.

Akhirnya jabatan guru sebagai tenaga profesional saat ini lebih dilihat sebagai pekerjaan tukang yang tunduk pada hukum transaksional materialistik, yakni mengukur peran, fungsi, dan tugasnya dari jabatan yang diberikan kepadanya sebagai material atau bayaran yang diberikan kepadanya.

Orientasi visi dan misi mereka banyak yang telah terkena virus hedonistik, materialistik, pragmatis, dan sekularistik. Hal ini tercermin dari gaya hidupnya yang cenderung memamerkan kekayaan, pola hidup jauh dari kesederhanaan, tuntutan kenaikan upah, dan sebagainya. Akibat dari keadaan ini, maka  mereka banyak yang menjadikan sekolah sebagai pasar untuk berbisnis memasarkan berbagai produk barang dan jasa yang ditawarkan dari luar, mulai dari barang cetakan, baju seragam, barang elektronik, otomotif, jasa keterampilan, kursus-kursus, transportasi dan rekreasi hingga menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan menerapkan praktik kecurangan dalam meluluskan ujian para muridnya dengan imbalan tertentu, yang secara keseluruhan kehilangan visi utamanya sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan.

Orientasi visi dan misi guru sebagai penggerak perubahan kearah yang lebih baik, serta membangun peradaban umat manusia secara seimbang itu telah memudar. Adapun Peran mereka sebagai ulil al bab yang memadukan antara kekuatan pikir dan dzikir, serta peran kecendekiawanannya sebagai orang yang memiliki keunggulan keterampilan, intelektual, moral, dan spiritual yang memiliki tangung jawab moral, kewajiban moral, panggilan batin moral, dan kewajiban memberikan nasihat moral tersebut juga telah memudar ( Abuddin Nata: 2012: 346).

 

Reorientasi Visi Dan Misi Guru  Pendekatan pendidikan Islam

Sejalan dengan permasalahan yang ada, maka perlu kembali kepada visi dan misi, seorang guru yaitu visi sebagai ulul al bab, al-ulama, al-muzakki, ahl al-dzikr, dan al-rasikhuna fi al-‘ilm yang disesuaikan dengan tantangan dan kebutuhan zaman. Visi dan misi ini diantaranya adalah sebagai berikut.

  1. Visi dan misi ulil al bab. Berdasarkan petunjuk Al-Qur’an surah Al-Imran: 190-191 dapat diketahui, bahwa visi guru sebagai ulil al-bab adalah menjadi orang yang memiliki keseimbangan antara daya pikir dan daya nalar dengan daya zikir dan spiritual. Dengan daya ini, maka seorang guru mengemban misi mempergunakan dayanya itu secara optimal untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar, sehingga keberadaannya tidak menjadi orang yang  sia-sia.

Mochtar Buchori  mengatakan bahwa pada dasarnya ada dua petunjuk atau ketentuan,

  1. Ditentukan, bahwa setiap profesi dikembangkan untuk memberikan pelayanan tertentu kepada masyarakat.
  2. Ditentukan bahwa profesi bukanlah sekedar mata pencaharian atau bidang pekerjaan.Dalam kata profesi tercakup pengertian “pengabdian kepada sesuatu” misalnya keadilan, kebenaran, meringankan penderitaaan sesamamanusia, dan sebagainya (Mochtar Buchori : 2007).
  3. Visi dan misi al-ulama. Berdasarkan petunjuk Al-Qur’an surah Fatir, (35) ayat 27-28 diketahui bahwa sebagai ulama ia menjadi orang yang mendalami ilmu pengetahuan melalui kegiatan penelitian terhadap alam jagad raya fauna, flora, ruang angkasa, geologi, fisika, dan sebagainya yang disertai keikutsertaan naluri intuisi dan fitrah batinnya untuk menyadari bahwa jagad raya yang dijadikan objek penelitiannya adalah ciptaan dari Allah SWT.

Dengan demikian, seorang guru harus memiliki visi menjadi seorang ilmuan yang senantiasa takut kepada Allah SWT, dan melaksanakan misi untuk menggunakan ilmunya itu untuk kemajuan masyarakat sebagai amanah Allah SWT.

  1. Visi dan misi al-muzakki. Bedasarkan petunjuk Al-Qur’an surah Al-Baqarah:129, dan Al-Imran: 164, dijelaskan bahwa visi guru adalah al-muzakki yaitu menjadi orang yang memiliki mental dan karakter yang mulia. Sedangkan misinya adalah membersihkan dirinya dan anak didiknya dari pengaruh akhlak yang buruk serta menjauhkan diri dari perbuatan dosa dan maksiat yang dilarang oleh Allah dan Rasulnya.
  2. Visi dan misi ahl al-dzikr. Bedasarkan petunjuk Al-Qur’an surah Al-Anbiya: 7, visi guru sebagai ahl al-dzikr adalah menjadi orang yang menguasai ilmu pengetahuan dan memiliki expert judgement, keahlian yang diakui kepakarannya sehingga ia pantas menjadi tempat bertanya, menjadi rujukan, dan memiliki otoritas untuk memberikan pembenaran atau pengakuan atas berbagai temuan ilmiah. Sedangkan misinya adalah memperbaiki, membimbing, meluruskan, dan mengigatkan serta memberikan keputusan atas perilaku yang dilakukan anak didiknya.
  3. Visi dan misi al-rasikhuna fi al-‘ilm. Bedasarkan petunjuk Al-Qur’an surah An-Nisa’: 162, diketahui bahwa visi al-rasikhuna fi al-‘ilm adalah menjadi orang yang memiliki kemampuan bukan hanya pada dataran fakta dan data, inferensial, atau prestechen terhadap data dan fakta tersebut.Sedangkan misinya adalah memberi makna, semangat dan dorongan kepada anak didik dan masyarakat sekitarnya agar meningkatkan kualitas hidup dengan cara menghayati, memahami, dan mendalami makna yang terkandung didalamnya (Abuddin Nata: 2012: 347: 352).

Implikasi Visi Dan Misi Seorang Guru

Visi dan misi seorang guru profesional yang berdasarkan perspektif islam tersebut akan memiliki implikasi yang luas. Implikasi tersebut antara lain, ia akan menempatkan dirinya bukan hanya sebagai agen pembelanjaran yang tunduk pada hukum transaksional professional, melainkan sebagai pengembang misi suci, yakni menyelamatkan manusia dari kehancuran dan membawanya menuju kepada kemajuan. Sejalan dengan itu, akan tercipta pula pembelajaran yang efektif, yaitu: memahami situasi dalam belajar, merencanakan pelajaran, merencanakan tugas-tugas, melaksanakan kegiatan belajar mengajar, mengevaluasi kegiatan belajar mengajar, dan menindaklanjuti.

Guru yang memiliki visi dan misi Qur’ani akan memandang berbagai ilmu pengetahuan sebagai satu kesatuan, membangun ilmu dengan paradigma islami, menggunakan etika tauhid sebagai dasar kesatuan epistemology keilmuan ilmu umum dan agama yang selanjutnya mengubahnya dari paradigma positivistik-sekulerisik kearah theo-antropocentris integralistic. Yaitu pandangan interkoneksitas antara ilmu agama yang bersumberkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, ilmu pengetahuan alam yang bersumberkan fenomena jagad raya, ilmu pengetahuan social yang bersumberkan fenomena dan perilaku manusia, ilmu humaniora yang bersumberkan akal, ilmu tasawuf yang bersumberkan intuisi, dan berbagai keterampilan yang bersumberkan fisik dan panca indra.

Kompetensi  Guru di Era Global

Berdasarkan gambaran pendidikan di era globalisasi terlihat bahwa pendidikan di era tersebut menuntut adanya manajemen pendidikan yang modern dan profesional dengan bernuansa pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan diharapkan mampu mewujudkan peranannya secara efektif dengan keunggulan dalam kepemimpinan, staf, proses belajar mengajar, pengembangan staf, kurikulum, tujuan dan harapan, iklim sekolah, penilaian diri, komunikasi, dan keterlibatan orang tua/masyarakat. Tidak kalah pentingnya adalah sosok penampilan guru yang ditandai dengan keunggulan dalam nasionalisme dan jiwa juang, keimanan dan ketakwaan, penguasaan iptek, etos kerja dan disiplin, profesionalisme, kerjasama dan belajar dengan berbagai disiplin, wawasan masa depan, kepastian karir, dan kesejahteraan lahir batin. Paradigma baru pembelajaran pada era globalisasi memberikan tantangan yang besar bagi guru. Pada era tersebut dalam melaksanakan profesinya, guru dituntut lebih meningkatkan profesionalitasnya.

Menurut para ahli, profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahu-an atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Maister mengemuka-kan bahwa profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan (Maister: 1997).

Menurut Arifin, guru yang profesional dipersyaratkan mempunyai; 1) dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengeta­huan di era globalisasi, 2) penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendi-dikan yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan proses yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan pada praksis pendidikan masyarakat Indonesia, 3) pengem-bangan kemampuan profesional berkesinambungan, profesi guru merupakan profesi yang ber-kembang terus menerus dan berkesinambungan antara LPTK dengan praktek pendidikan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan disebabkan terputusnya program pre-service dan in-service karena pertimbangan birokratis yang kaku atau manajemen pendidikan yang lemah.

Dengan adanya persyaratan profesionalisme guru ini, perlu adanya paradigma baru untuk melahirkan profil guru yang profesional di era globalisasi, yaitu; 1) memiliki kepribadi-an yang matang dan berkembang, 2) penguasaan ilmu yang kuat, 3) keterampilan untuk mem-bangkitkan peserta didik kepada sains dan teknologi, dan 4) pengembangan profesi secara berkesinambungan. Keempat aspek tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan dan ditambah dengan usaha lain yang ikut mempengaruhi perkembangan profesi guru yang professional (Arifin: 2002).

Apabila syarat-syarat profesionalisme guru tersebut terpenuhi, akan melahirkan profil guru yang kreatif dan dinamis yang dibutuhkan pada era globalisasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Semiawan , bahwa pemenuhan persyaratan guru profesional akan mengubah peran guru yang semula sebagai orator yang verbalistis menjadi berkekuatan dinamis dalam menciptakan suatu suasana dan lingkungan belajar yang inovatif. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, guru memiliki multi fungsi yaitu sebagai fasilitator, motivator, informator, komunikator, transformator, change agent, inovator, konselor, evaluator, dan administrator. Berdasarkan pendapat Semiawan tersebut tampak bahwa sikap profesionalisme guru di era globalisasi merupakan kompetensi guru di era globalisasi (Semiawan: 1999).