Penjengukan Terakhir

0
279

Oleh Ahmad Syakib

Tanggal 29 Oktober sudah dilingkari jauh-jauh hari oleh pasangan Rahmad dan Sinta. Bahkan dua bulan sebelumnya. Bagi keduanya tanggal itu akan menjadi tanggal istimewa karena akan bertemu dengan putra semata wayangnya, Rino.

Selepas SD, Rino memutuskan masuk pesantren di Tangerang. Awalnya Rahmad dan Sinta sempat khawatir, maklum jarak Riau dan Tangerang sangat jauh. Rahmad dan Sinta belum bisa membayangkan akan berpisah jarak dengan Rino. Keduanya sempat merayu Rino, yang baru berusia 13, masuk SMP lainnya yang dekat rumah. Apa pun pilihan Rino. Namun semangat Rino ingin masuk ke pesantren meluluhkan penawaran kedua orangtuanya.

Akhirnya Rino resmi masuk pesantren pilihannya di sebuah wilayah di Tangerang. Hari pengantaran serasa hari besar. Sehari sebelumnya kedua pasangan muda itu mengadakan syukuran yang diikuti keluarga besarnya. Doa mereka panjatkan bagi Rino agar mendapat segala kebaikan. Keduanya melepas Rino dengan sedikit ganjalan di hati.

“Penjengukan pertama dilakukan tiga bulan setelah ini,” ujar pengasuh pondok saat memberikan pengarahan kepada wali Santri. Aturan ini dibuat agar para santri baru tidak selalu ingat pada keluarga di rumah. Agar proses adaptasi berlangsung cepat. Dan tiga bulan mendatang adalah tanggal 29 Oktober 2018.

Sinta memakai baju terbaiknya yang kerap dipakai saat acara-acara besar. Sementara itu Rahmad tampil biasa dengan gaya kasualnya. Mereka tidak lupa membawakan oleh-oleh buat anak semata wayangnya. Sementara, jauh di Tangerang sana, Rino juga ingin menyambut kedua orangtuanya dengan istimewa. Tidak ada barang yang disiapkan, tidak ada kado terbungkus kertas mengkilap, sekadar hafalan Quran juz 30 yang akan ia bacakan untuk orangtuanya. Maka sejak pukul tiga pagi, dibantu rekan sekamarnya, ia mengulang-ulang kembali hafalannya agar lancar saat nanti ia bacakan di depan orangtuanya.

Jam menunjukkan pukul delapan pagi di tanggal 29 Oktober saat Rahmad dan Sinta bertatap muka dengan Rino. Keduanya sempat takjub dengan penampilan Rino yang memakai baju gamis berwarna dan peci putih. Tidak terasa mata Sinta dipenuhi air mata yang membulir. Tidak lama ketiga insan itu terlihat saling memeluk.

“Gimana? betah?” tanya Rahmad.

Rino hanya tersenyum ringan. Ia menjulurkan buku notes kecil bersampul warna merah yang ia bawa sejak awal masuk pesantren. Buku itu berisi tulisan Rino sehari-hari. Rahmad pun mulai membukanya. Ia menangis saat membaca tulisan berjudul “Rindu”, naluri keayahannya tersentuh. Rino bercerita bagaimana pekan-pekan awal begitu menyiksa dirinya karena jauh dari orangtua. Ia belum mengenal semua teman kamarnya. Ia selalu menangis saat jelang tidur. Sementara di tulisan berjudul “Semangat” Rino berkisah bagaimana perjuangan dirinya bangun pada pukul tiga dini hari untuk memulai hari, juga bagaimana perjuangan antri mendapat sarapan pagi, sampai satu momen ketika ia kehabisan nasi sehingga makan berbekal sayur saja. Adapun dalam tulisan berjudul “Disiplin” Rino menulis saat ia dihukum harus lari keliling pondok karena kesiangan saat waktu subuh ke masjid, penyebabnya ia tertidur saat di kamar mandi. Di pekan-pekan selanjutnya tulisan Rino mulai menggambarkan bagaimana ia sudah bisa beradaptasi dengan kawan barunya. Tulisan “Riuh” mengisahkan kawan-kawan baru Rio yang berasal dari berbagai wilayah dengan budaya daerah yang dibawa masing-masing. Ia berkisah kawan dari Makassar yang menggunakan kata ‘kita’ untuk kamu.

Lalu Rino bertanya, “Ayah dan Bunda, gimana? Udah bisa melupakan Rino sementara?”

Rahmad dan Sinta saling bertatap, lalu dengan perasaan tertahan keduanya tersenyum kecil sambil menjawab, “Alhamdulillah.” Padahal, orangtua mana yang bisa melupakan darah dagingnya begitu saja?

Lalu Rino pun membacakan beberapa surat dalam juz 30 yang sudah dihafalnya. Meski sudah menyiapkan diri dengan baik, sesekali ia sempat terlupa. Dalam waktu 15 menit ia sudah menyelesaikan An-Nabaa dan An-Naziat. Saat memasuki surat Abasa, Rahmad tiba-tiba memeluk Rino, sambil berkata, “Insya Allah, Nak. Kami percaya…”

Tanpa disadarinya, ada bulir air mata yang mulai menganak sungai di wajah Rino. Ia tak pernah merasakan kebahagiaan seperti itu, bahagia karena bisa membuat orangtuanya sedikit bahagia dan bangga.

Setelah puas membaca tulisan-tulisan Rino tersebut, Rahmad dan Sinta mengajak Rino keluar pesantren untuk menuju pusat perbelanjaan di seputar pesantren. Selain makan dan membeli keperluan Rino mereka juga membeli beberapa buku bacaan untuk menjadi teman Rino di kamar. Ketiganya tertawa dan gembira hari itu. Sinta dan Rahmad seakan tidak ingin jauh-jauh dari Rino. Bahkan sesekali Rahmad menuntun Rino sambil berjalan. Rino awalnya menolak, ada rasa malu anak seumurnya di tuntun oleh kedua orangtuanya. Tapi ia akhirnya membiarkan saja. Ia tahu keduanya hanya sangat rindu padanya dan ingin menghabiskan waktu seolah-olah itu adalah hari terakhir mereka bisa bercengkerama.

Tidak lupa Rino meminjam ponsel ayahnya untuk login ke akun media sosialnya. Di Instagram ia memasang foto menggunakan gamis dengan caption, “Yang kangen aku, ngacung!” tidak lama kemudian masuk notifikasi like dari kawan-kawannya. Ada yang memberikan komentar “Aduh pak ustad”; Andra teman sebangku waktu SD tak ketinggalan memberikan komentar, “Gile, udah 30 juz lu?”. Rino pun tenggelam dengan aktivitas berbalas komen dengan kawan-kawannya. Ia menutup aktivitas media sosial hari itu dengan komentar, “Insya Allah akhir tahun ini gw libur panjang. Kita tukar cerita yah”.

Lima belas menit jelang pukul 17.00 Rahmad, Sinta, dan Rino sudah berada kembali di pesantren. Pukul 17.00 adalah tenggat Rino harus kembali ke asrama dan para penjenguk meninggalkan area pondok. Sinta memeluk Rino sangat lama, sementara Rahmad mengusir rasa gusarnya dengan memfoto keramean pondok di sore itu. Lambaian tangan menjadi tanda perpisahan Rino dengan kedua orangtuanya. Tidak lama Rahmad dan Sinta pun memasuki kendaraan yang akan mengantarnya kembali ke bandara. Rino pun memandang mobil yang mengantar kedua orangtuanya hingga hilang setelah berbelok dari pintu keluar pondok.

Keceriaan hari itu masih tergambar di wajah Rino hingga menjelang waktu tidur. Selepas shalat Isya tadi ia pun tidak lupa mendoakan doa terbaik bagi kedua orangtuanya. Berbeda dengan malam sebelumnya, ia berdoa sangat panjang sekali malam itu. Wajah kedua orangtunya masih terbayang jelas dalam ingatannya. Pukul 21.00 Rino sudah bersiap tidur. Setelah bercanda sebentar dan bertukar cerita dengan teman sekamar apa saja yang mereka lakukan siang tadi, Rino pun mulai naik ke ranjangnya. Sekali lagi ia berdoa untuk kedua orangtuanya, sebelum akhirnya terlelap.

“Rino … bangun, Rino,” tidak lama ada suara yang membangunkan. Rino pun terpaksa menyelesaikan tidur nyenyaknya. Sejenak ia melihat jam tangannya. Waktu baru menunjukkan pukul 22.00. Ia melihat ke sekeliling dan menemukan wali kamar yang membangunkannya, juga teman-temannya sekamarnya yang sudah mengerubung. Perasaannya tidak enak. Apa ia melakukan kesalahan?

Belum sempat bertanya, Rino dibawa keluar oleh wali kamarnya menuju ruangan kantor pengurus. Di sana sudah berkumpul sejumlah assatidz dan Ustad Nurman, pengasuh pondok. Ustad Nurman langsung memeluknya, dan membisikkan sesuatu sambil tangannya menepak pundak Rino.

Tangis Rino runtuh dengan apa yang didengarnya. “Sabar, Rino, sabar,” ujar ustad Nurman. Meski sangat dekat, suara itu sudah tidak terdengar lagi oleh Rino. Suara yang terngiang di telinganya hanyalah ucapan terakhir kedua orangtuanya jelang berpisah tadi.

“Terus semangat, Nak, dan doakan kami, Insya Allah kita akan bertemu di surganya nanti…”

Layar televisi di kantor pengasuh tengah menayangkan berita utama yang mengabarkan jatuhnya pesawat udara tujuan Jakarta – Pangkal Pinang di laut utara Karawang, sepuluh menit setelah lepas landas. Pemerintah memastikan seluruh penumpang dan awak pesawat meninggal dunia. Dua di antara nama penumpang pesawat tersebut adalah … kedua orangtua Rino.

Cerita fiksi ini dibuat setelah pemerintah memastikan pesawat Lion Air JT-610 tujuan Jakarta – Pangkal Pinang dinyatakan jatuh di Laut Utara Karawang. Dan satu penumpang diantaranya merupakan orangtua ponpes tahfizh Daarul Qur’an.

Do’a terdalam untuk Bunda Dede Anggraini, orang tua dari Aura Asshofa Jasmine Sandi, yang menjadi korban dalam musibah tersebut dan penumpang lainnya. Semoga Allah swt, membalas segala amal kebaikan dan ditempatkan di jannah.