Saat masih belajar di madrasah, saya pernah membaca kisah menarik pada sebuah majalah: Seorang pengrajin meja-kursi, mengeluhkan profesinya sebagai “tukang” meja-kursi. Ia bosan dengan kesehariannya yang dirasa gitu-gitu aja. Terlebih, menurutnya, pendapatannya juga sama statisnya, segitu-gitu aja!.
Seorang yang berstatus karyawan di sebuah pabrik atau kantor, termasuk karyawan di pesantren (ups!), juga berpotensi mengalami kondisi serupa. Berangkat pagi, di tempat kerja melakukan kerjaan yang hampir sama, sore hari pulang, sampai rumah capek lalu istirahat dan berangkat lagi keesokan harinya. Terus seperti itu. Ditambah return yang didapat rasanya belum seperti yang diharap.
Pada satu kesempatan si pengarajin meja-kursi itu kedatangan calon pembeli. Saking jenuh dengan pekerjaannya, ia sampai mencurahkan isi hatinya pada si calon pembeli. Ternyata sang tamu adalah orang bijak. Ia pun mencoba memberi “perspektif berbeda” pada si pengrajin.
Menurutnya, harusnya si pengrajin menyadari bahwa yang dilakukannya adalah hal yang sangat baik, sangat mulia. Betapa tidak, ia menyiapkan meja-kursi bagi orang lain untuk dapat beraktifitas secara nyaman. Belajar butuh meja-kursi, untuk makan butuh meja-kursi, bahkan sebagian orang salat butuh kursi. Gedung setinggi dan sebesar apa pun, di dalamnya berjejer meja-kursi yang tak terbilang. Apa kurang mulianya pengrajin meja-kursi?
Sejurus kemudian si pengrajin menyadarinya. Hingga ia sadar sepatutnya ia bangga lagi bersyukur. Berbekal pemahaman dan kesadaran baru yang dimilikinya, rasa bosan dan jenuh berbalik menjadi semangat tinggi dan penuh dedikasi.
Dari cerita itu kita menyadari bahwa ini soal perspektif. Menurut KBBI, perspektif bermakna cara melukiskan suatu benda pada permukaan sebagaimana yang terlihat oleh mata dengan tiga dimensi (penjang lebar, dan tinggai). Perspektif juga dapat dimaknai sebagai sudut pandang atau pandangan.
Seorang guru sangat mungkin memandang aktivitas kesehariannya memberatkan. Pada saat yang sama, dirinya memandang profesi lain lebih beruntung. Kondisi semacam ini lazim terjadi dalam realtias kehidupan. Hal yang sama akan disikapi secara berbeda jika perspektifnya beda.
Islam mengajarkan kita untuk selalu ber-husnudzan kepada diri dan orang lain. Sebaliknya, kita juga dilarang su’udzan, menduga buruk atau berpandangan buruk, terhadap diri dan orang lain.
Di suatu subuh saya dengan beberapa teman sudah siap melakukan perjalanan ke pesantren cabang. Sebelum jalan, di pelataran Mabna Ad-Dhuha saya berjumpa dengan bapak paruh baya yang sudah datang lebih dulu untuk memulai aktivitasnya. Sehari-hari beliau bertugas memastikan taman pesantren rapi. Taman pesantren yang indah akan membuat semua santri dan penghuni pesantren jadi kerasan belajar dan bekerja.
Saat ada kesempatan ngobrol, ia berujar bahwa dirinya tidak hafal Al-Qur’an. Bahkan membaca Al-Qur’an saja masih tertatih-tatih. Yang ia bisa lakukan untuk mendukung santri menghafal Al-Qur’an adalah dengan menata taman. Tak lupa, ia pun besyukur di usianya yang sudah mulai lanjut masih diberi kesempatan mengabdi di pesantren. Karena beliau sadar, balasan yang akan Allah berikan jauh lebih besar dari return yang ia dapat ketika seseorang mendukung orang lain yang sedang berjuang di jalan-Nya. Beliau juga berharap jika nanti menghadap Allah, ia ingin tetap dalam status khadim pesantren. Sikap demikian itulah yang disebut sebagai bekerja dengan cinta.
Bapak ini mungkin tidak berada pada “posisi” mentereng. Tapi percayalah, persepktifnya sungguh moncer!
Oleh: Muhammad Bisyri, Kepala Bidang Tahfizh, Pesantren Tahfizh Daarul Qur’an