“santri bisa jadi dokter?”
“santri bisa jadi pengusaha?”
pertanyaan sejenis dan lainnya kerap muncul baik dari calon santri maupun calon wali santri ketika ingin memasukkan anaknya ke pondok. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Pesantren Tahfizh Daarul Qur’an Putri Cikarang mendatangkan 2 orang alumni yang siap berbagi kisah dan perjuangan saat mondok hingga apa yang diraihnya kini kepada adik-adiknya yang masih mondok, pada Jumat (18/10).
keduanya adalah dr. Woro Anisa dan Siti Nurhaliza yang kini menjadi direktur di sebuah perusahaan yang dirintis bersama ayahnya. Woro Anisa, santri angkatan perdana, mengisahkan betapa beratnya menjadi santri perintis yang ikut membangun peradaban di Daarul Qur’an Cikarang. Ia mendapatkan pencerahan ketika seorang motivator datang ke pondok dan menyihir perhatiannya tentang time management.
“Elemen paling penting dalam hidup itu adalah mengenai time management, bagaimana kita mengatur porsi waktu kita, dimulai dari prioritas apa yang kita utamakan, bagaimana efekrivitas kegiatan yang sedang kita kerjakan, lalu konsistensi yang kita curahkan pada prosesnya” ujar Woro Anisa.
“Dan ketiga ilmu tersebut tanpa kita sadari ada di pondok. Maka manfaatkan management waktu yang efektif selama di pondok” tambahnya.
Woro percaya kesuksesan yang ia rasakan sekarang bukanlah hasil dari jerih payahnya saja, namun ada faktor lain yang berpengaruh besar pada hidupya. Kesuksesan bisa kita usahakan dengan menjaga hubungan baik dengan orang tua, senantiasa menghormati dan beruasaha menjadi anak terbaik di setiap persimpangan jalan kehidupan, menghormati guru, ikhlas dan taat, istiqomah, serta tekun dalam belajar. Terakhir, ia menyampaikan untuk tak mudah menyerah pada perjuangan, menjadikan setiap gundukan beban yang dihadapi sebagai batu loncatan yang akan menjadi penopang untuk maju ke depan.
Lain lagi dengan kisah Liza. Menghabiskan lebih dari separuh usia hidupnya di pondok terbukti menjadikannya seorang yang gigih dalam berjuang. Perjalanannya dimulai saat ia harus mengabiskan masa TK nya di pondok di daerah Karawang, lalu melanjutkan masa SMP dan SMA di Daarul Qur’an Cikarang. 13 tahun tentu bukan waktu yang sedikit, namun di masa-masa tersebut ternyata membentuk dirinya menjadi pribadi yang siap menghadapi dunia luar.
Lulus dari pondok Liza masuk universitas yang bukan ilmu agama. Ia baru menyadari bahwa pembacaan asmaul husna yang didengar sebagai penanda waktu shalat sudah dekat saat menjadi santri dulu adalah pilar yang menjadikannya gelisah jika tak bisa shalat pada waktunya. Organisasi saat menjadi santri ia jadikan sebagai pondasi dalam bekerja. Ia menyampaikan bahwa keberaniannya dalam merintis perusahaan bersama ayahnya karena kebiasaannya membuat acara saat menjadi bagian pramuka di pondok dulu.
“Aku bukan juara kelas, bukan juga pengurus di angkatan, aku santri biasa-biasa aja yang kadang juga ngeluh saat kesusahan, tapi yang bikin aku bisa jadi seperti sekarang karena aku mau bertahan” ujar Liza.
Menurutnya semua punya peluang keberhasilan yang sama, dan sukses itu tidak diukur dari seberapa banyak prestasi yang telah dituai. Bertahan saat sulit dan melangkah sedikit demi sedikitlah yang menjadikan manusia mampu untuk melewati kesulitan yang dihadapi.
“Tidak perlu memaksa menjadi yang terbaik, cukup jadilah diri sendiri yang mengerti jalan mana yang ingin ditempuh” tambah Liza
Siang itu suasana pondok pun terasa bergairah. Muka-muka penuh optimis para santri memancar. Mereka semakin dengan Al-Qur’an dan kesabaran dalam menuntut ilmu akan berbuah manis di masa depan.
Laporan dari Rizkadwimurti