Oleh: Mahfud Fauzi
Kamis, 9 Desember 2015, Pemerintah Republik Indonesia menggelar hajat demokrasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak di 269 daerah di seluruh penjuru Tanah Air. Tak tanggung-tanggung melalui Keputusan Presiden RI Nomor 25 Tahun 2015 menyatakan bahwa tanggal 9 Desember 2015 sebagai hari libur nasional, beruntunglah bagi daerah yang yang tidak kedapatan pilkada karena menikmati libur.
Pertanyaan kemudian muncul adalah masihkah masyarakat antusias berpartisipasi dengan perhelatan demokrasi ini yang konon mengeluarkan dana tidak sedikit? mengingat sudah beberapa kali pilkada langsung digelar namun keinginan mencari pemimpin yang peduli pada masyarakat masih sekedar mimpi.
Tidak jarang beberapa pagelaran Pilkada dibeberapa daerah mencatat rendahnya partisipasi pemilu. Dima berdasar survei yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena masyarakat sudah kehilangan harapan pada calon-calon kepala daerah. Dalam benak masyarakat, calon-calon tersebut kebanyakan lebih mementingkan diri sendiri dan aspek kredibilitasnya pun cenderung rendah.
Politik uang masih menjadi isu utama dalam setiap pilkada. Banyak calon yang demi ambisi meraih jabatan rela menggelontokan banyak rupiah kepada yang bersedia memilihnya. Kondisi ini disambut dengan realita banyak masyarakat yang hanya memiliki pengetahuan bahwa pesta demokrasi lebih dekat “siapa” dan “berapa”, artinya semakin mengguyurkan dana sokongan buat pemilih maka sang calon semakin berpeluang menang.
Akhirnya masyarakat tak kalah cerdas, hajatan demokrasi menurutnya adalah momentum empuk untuk mencambuk para calon kepala daerah sehingga muncul istilah NP-WP (nomor piro – wani piro). Calonpun demikian tak kalah cerdas, kesana kemari menyiapkan amunisi sebesar-besarnya untuk membanjiri isi dompet pemilih.
Maka, hukum akan berlaku jika kelak menang “modal” tetap akan kembali bahkan meraup keuntungan dengan sekian proyek yang siap di mark up. Pada saat seperti ini, KPK sebagai lokomotif pemberantasan korupsi tak kalah cerdas “menyiapkan” daftar nama-nama yang siap diseret di “Jumat Keramat”.
Jika kondisinya seperti ini maka dalil keagamaan, kesantunan adat, serta kearifan lokal tak ada yang berlaku karena yang berlaku adalah “Kehidupan Normatif, jika mau sukses harus hidup sesuai norma dan tip. Norma saja tidak cukup tanpa mengeluarkan tips, apalagi kalau tambah “i” jadi tipis. Demikian ini pasal satu yang sangat sakti pada hajatan tersebut. Semua harus kembali ke pasal satu. Sungguh senjata apalagi yang harus dikeluarkan dalam rangka menyadarkan fenomena sebagaimana diatas.
Banyaknya calon pemimpin “dadakan” yang tidak memiliki jejak rekam yang segar di mata publik menjadikan sang calon harus adu kuat “amunisi” dan cenderung menghalalkan segala cara. Hari ini, belum ada panutan tokoh politik sentral yang dapat disegani, dikagumi akar rumput. Ada sebagian namun bersifat pencitraan dan tak lama mendapat panggilan “Jumat Keramat”.
Proses kepemimpinan yang lahir dari rahim masyarakat kemudian mengejawantah secara kontinyu. Tutur katanya, perilaku dan sikapnya serta janjinya menjadi satu kesatuan yang komit dalam mewujudkan arah dan cita-cita kehidupan di masyarakat.
[arabic-font]
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
[/arabic-font]
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu uswatun hasanah (suri teladan yang baik) bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
[QS. Al-Ahzaab: 21]
Sejatinya, etika adalah mahkota dari seluruh bidang dalam kehidupan ini.
mahkota dari seluruh bidang dalam kehidupan ini.
[arabic-font]
اِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأ ُتَمِّمَا مَكَارِمَ اْلأَحْلاَ قِ
[/arabic-font]
(Innama bu’itstu liutammima makaarimal akhlaq)
Artinya : “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan budi pekerti yang luhur”
HR. Ibnu Majah dari Ibnu Amru
Orang pandai tapi tak berakhlak, orang kaya tapi tak berakhlaq, orang miskin tapi tak berakhlaq, orang berkuasa tapi tak berakhlak, kesemuanya akan menunggu kehancurannya.
Alquran kemudian menegaskan kembali :
[arabic-font]
{ 4 وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ} [القلم
[/arabic-font]
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung (QS Al Qalam:4)
Peradaban etika dibangun secara berkala oleh Nabi Agung Muhammad. Resiko kesusahan, kelaparan dan penderitaan pun tak sedikit menghampirinya, tapi pada akhirnya peradaban berdiri kokoh diatas mahkota etika dan akhlak.
Memilih adalah pilihan pemilih yang tak tersembelih dengan pembeli. Selamat memilih.