Oleh : Mahfud Fauzi
Pengurus Himpunan Da’I Daarul Qur’an (HIPDAQU)
Menarik mengamati perkembangan perkembangan tahfizhul quran sepuluh tahun terakhir ini di Indonesia. Menjamurnya budaya menghafal quran baik secara komunitas ataupun secara pribadi, bahkan masuk kurikulum ke sekolah-sekolah dan terakhir ke perkantoran melalui majelis taklim. Sebagai negara demokrasi, Indonesia, yang memiliki jumlah komunitas muslim terbesar dunia, yang menurut Azyumardi Azra mendapatkan “bonus demografi” maka maraknya “tradisi menghafal” ini bagian dari buah bonus demografi tersebut.
Sementara KH. Ahsin Sakho memberi komentar hangat terkait maraknya para penghafal quran, menurutnya kini umat islam dapat menghafal dengan berbagai model, sehingga kata-kata “hafizh” yang dulu terlalu melangit akhirnya kini membumi, menyentuh kalangan alit, siapapun bisa menghafal.
Banyaknya para penghafal quran yang berasal dari generasi muda pun menarik sejumlah perguruan tinggi untuk menyiapkan program beasiswa bagi para penghafal al-quran. Kampus-kampus seperti Universitas Negeri Solo, Universitas Brawijaya dan lainnya menyediakan karpet merah bagi para penghafal quran untuk menempuh studi di kampusnya. Namun jalur khusus bagi penghafal quran di sejumlah perguruan tinggi ini bukannya tanpa polemik. Usulan seorang dosen Universitas Gajah Mada untuk menyediakan beasiswa bagi penghafal al-quran menimbulkan pro dan kontra.
Dalam artikel berjudul “Menyoal Penghafal Masuk PTN Tanpa Tes” yang dimuat portal detik.com pada senin (6/11), Hasanudin Abdurakhman menulis “…Ini adalah sikap berbasis mumpung dst……” penulis tidak begitu memahami apa sebenarnya yang sedang terjadi dalam benak pikir Kang Hasan, sapaan akrab Hasanudin Abdurakhman, sehingga dia sampai pada pemahaman seperti “membenturkan antar agama” yang membawa ranah para penghafal yang masuk tanpa tes ke wilayah agama lain. Kalau mau sederhana, persoalan keadilan itu bukanlah semata-mata penyamarataan, sikap menyamakan secara rata-rata semua agama. namun lebih kepada sebuah sikap proporsional yang sesuai dengan budaya, hukum yang berlaku serta kebiasaan sebuah ajaran masing-masing budaya. Sehingga, Kang Hasan sepertinya “memaksakan agama lain” untuk menghafal kitab sucinya, tentu tidak masalah jika memang di agama selain Islam ada budaya menghafal kitab suci, sebut saja penghafal kitab suci Nasrani, penghafal kitab suci Weda dll. Jika memang ada maka semestinya seluruh perguruan tinggi, secara otomatis akan memberlakukan hal yang sama yakni bebas tes bagi penghafal kitab suci selain Al Quran untuk masuk ke PTN. Yang dimaksud adil secara proporsional adalah memperlakukan umat sesuai dengan budayanya, budaya di Islam ada para penghafal quran maka disiapkan beberapa penghargaan bagi para penghafal quran, jikapun di agama lain ada maka hal ini tetap harus diakomodasi. Jangan kemudian “dibenturkan” seolah-olah mengalami kecemburuan bagi agama lain, tentu ini sangat berlebihan dan penuh teka-teki.
Dengan demikian, pembenturan dengan agama lain tak akan berpengaruh sama sekali, sebagaimana aksi bela islam dari pertama dan kedua yang murni menyorot isu penistaan al quran, walaupun di coba dengan menggunakan teori “benturan” ras dan agama tetap saja tidak pengaruh buktinya damai-damai saja antara Islam dan agama lain.
Bicara aji ”mumpung” yang diulas oleh Kang Hasan rasanya berlebihan karena sebagaimana teorinya Lord Acton yang mengatakan bahwa ” power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely atau kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut pastilah korup” , jadi ini persoalan manusia, siapapun dia apapun dia semakin berkuasa maka semakin bisa terjadi teka-teki kepentingan. Pertanyaannya, kenapa dia alamatkan secara khusus kepada pengambil kebijakan yang berhubungan dengan kebijakan penghafal quran? Sebagaimana diketahui, saat ini beberapa perguruan tinggi yang sudah terbuka menerima mahasiswa penghafal quran tanpa tes seperti UNS, UTY, UNISULA, UNIBRAW dll.
Terlepas dari persoalan di atas, penulis lebih sepakat jika mau mengkritisi terkait euforia kebijakan “kue” khusus buat penghafal quran mestinya sudah saatnya sebuah lembaga pendidikan menyaring bagi penghafal quran yang bisa memahami, menerjemahkan yang pada akhirnya melahirkan mufassir quran yang handal dan relevan dengan perkembangan zaman, ini sifatnya kritik konstruktif, bukan kritik sebagaimana kang hasan yakni kritik destruktif, bersifat menjatuhkan. Dari euforia para penghafal quran tersebut paling tidak akan lebih memajukan gairah intelektualitas secara perorangan, lembaga dan negara tentunya.