Saat pesantren mengumumkan untuk memulangkan santri, Ahad (15/3), sebagai langkah mencegah penyebaran virus corona sejujur kami dalam keadaan tidak siap. Jujur, hati kami saat itu hancur. Bayangkan, sebentar lagi kami akan menjalani ujian untuk mengikuti wisuda tahfizh nasional (WTN) dan juga banyak dari kami yang akan merampungkan hafalannya. Saat itu kami saling menatap satu sama lain. Tidak percaya dengan keputusan yang juga terdengar dadakan ini. Hingga akhirnya kami menyadari, bahwa siap atau tidak siap kami harus meninggalkan sejenak pesantren tercinta.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tha’un (wabah penyakit menular) adalah suatu peringatan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menguji hamba-hamba-Nya dari kalangan manusia. Maka apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu, dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari daripadanya.” (HR Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid).
Perlahan kami mulai menyadari bahwa keputusan yang disampaikan oleh Ayah Yusuf Mansur adalah keputusan terbaik. Memang di saat seperti ini bersama dengan keluarga adalah yang terbaik. Sebagai santri kami tetap saling support untuk selalu mengingatkan dan mendoakan agar musibah ini cepat berlalu. Kami, para calon calon hafizhah terus melanjutkan apa yang menjadi mimpi dan cita-cita kami. Alam boleh saja berkehendak, tapi semangat kami menghafal Al-Qur’an tidak akan pernah surut.
Kami lakukan Halaqoh Online (HO) setiap hari. Setoran dan muraja’ah rutin tetap berjalan sebagaimana kami di pesantren. Najwa Afifah, santriwati Pesantren Daqu Malang asal Surabaya yang mengemukakan bahwa dengan adanya HO ini maka target setoran santri tidak terbengkalai. “Kita tetap semangat ngafal di rumah, karena akan disetorkan langsung ke guru tahfizh melalui daring online setiap hari.”, ujar Najwa saat dihubungi lewat pesan elektronik.
Tidak hanya itu, Najwa juga merasa sangat terpacu untuk menyiapkan setoran hafalan setiap hari, sebab melihat semangat teman-temannya untuk setoran hafalan Al-Qur’an. Ia mengatakan, “HO ini termasuk efektif diterapkan selama masa social distancing, sebab dengan adanya HO kami tetap teratur rutinitas setorannya.”
Sementara itu Jihan Maghfiran, santriwati mengatakan meski terbantu dengan setoran online, namun ada juga beberapa hal yang dirasakan berbeda saat muroja’ah tatap muka, “Pertama, kesalahan santri saat setoran hafalan sering kali kurang nampak, entah pada pengucapan makhraj, atau salah penyebutan huruf pada suatu ayat. Kedua, koneksi yang tidak selalu stabil. Dan ketiga, ada godaan untuk buka sosial media saat HO berlangsung. Astaghfirullah.”
Lain halnya dengan Hidayatul Khairi, santriwati asal Riau. Ia mengaku bahwa HO ini menjadi alarm bagi para santri untuk setoran dan muraja’ah rutin. “Kita semua tahu, kalau sudah di rumah pasti akan lebih banyak godaannya. Yang main hp lah, yang nonton lah, yang tiduran lah, hehehe”, ujarnya.
“Seperti kata Ustadz Najmuddin, hafalannya bisa jadi bukan remang-remang lagi, tapi gelap.”, ujar Khairi. “Apalagi para orangtua, pasti akan resah dan gelisah kalau anaknya sudah di rumah, hafalannya hilang. Sebab tidak ada yang mengawasi muraja’ahnya.”
Di samping itu, Ustadzah Mia Ayu Novitriani, selaku guru halaqoh di Pesantren Daqu Malang mengemukakan bahwa salah satu sisi negatif dari HO adalah kurang efektifnya setoran santri sebab tidak secara langsung tatap muka. Namun, sisi positifnya adalah melalui HO ini, orangtua santri akan mengetahui secara langsung kemampuan anaknya dan bisa lebih dekat dengan anaknya.
Terima kasih kepada Ustadz & Ustadzah yang telah memberi bekal kami selama di pesantren, insyaallah kami akan tetap berjuang bersama guru halaqoh yang selalu sabar membimbing kami sampai melalui setoran online.
Oleh : Dini Annisa Azzahra, Santriwati Pesantren Daqu Malang, Daqupost