“Mas, tempat pertandingan basket dimana, ya?” Tanya seorang pria muda kepada Nur Ikhlas (17), volunter Asian Games divisi venue, yang tengah berjaga di depan Zona Bhin-Bhin, areal Gelora Bung Karno.
Dengan sigap sambil menunjuk pada peta yang terpampang, Ikhlas menunjukkan harus ke mana pemuda itu untuk menuju venue bola basket.
Ikhlas merupakan lulusan pondok pesantren tahfizh Daarul Qur’an, bersama Muhammad Nur Adli dan Reynaldi Yunus ia mencoba mendaftar menjadi volunter Asian Games begitu tahu even besar ini membutuhkan banyak relawan.
“Begitu dibuka di bulan Mei saya bersama Ikhlas dan Reynaldi langsung mendaftar via website. Lalu dua minggu kemudian kami diterima dan setelahnya mulai menjalani pelatihan” ujar Fadhli, yang bertugas di wisma atlet.
Ketiganya mengaku ini merupakan pengalaman pertama menjadi relawan dalam even internasional. Motivasi ketiganya dari awal adalah ingin menjadi bagian dari sejarah bangsa Indonesia.
“Bagi kami ini sebuah pengalaman yang sangat berharga dan tidak bernilai. Ini adalah sebuah pelajaran dan makanya kami bangga menjadi bagian dari perhelatan besar ini” ujar Fadhli
Ribuan Relawan
Pelaksanaan Asian Games 2018 bisa jadi merupakan sejarah besar bagi bangsa Indonesia yang sebelumnya sudah berhasil menyelenggarakan pada tahun 1962. Indonesia sebagai tuan rumah dianggap banyak pihak berhasil menyelenggarakan even olahraga empat tahunan di Asia ini. Terlebih upacara pembukaan yang banyak mengundang decak kagum banyak orang. Puluhan ribu relawan yang datang dari berbagai wilayah Indonesia juga dinilai menjadi kunci sukses Asian Games kali ini.
Para relawan ini sejak awal diharapkan menjadi garda terdepan menghadapi atlet, tamu dan juga penonton. Berbagai skill harus dimiliki oleh para relawan seperti kemampuan bahasa selain bahasa Indonesia dan juga mental dan kepercayaan diri.
Ikhsan dan Fadhli pun mengakui apa yang mereka dapatkan selama di pondok sangat berguna saat menjadi relawan ini. Selain kemampuan bahasa Inggris dan Arab menurut Fadhli memiliki mental yang baik juga menjadi modal yang ia miliki untuk gelaran ini.
“Kami bertiga bisa dibilang yang termuda. Bahkan baru lulus. Relawan rata-rata sudah duduk di bangku kuliah dan ada juga yang sudah berumah tangga. Saya harus berhadapan dengan atlit dari Indonesia dan luar negeri jika kita tidak memiliki mental yang baik maka bisa jadi kami akan minder” ujar Fadhli.
Menurut Ikhsan sebagai relawan mereka harus proaktif dalam membantu siapa saja demi menyukseskan kegiatan ini. Maka itu ia merasakan bekal di pesantren sangat membantu dirinya saat berhadapan dengan banyak orang.
“Mereka yang datang ke stadion itu terdiri dari banyak karakter. Nah, kita sudah menemui ini sewaktu di pondok. Insya Allah kita sudah terbiasa bertemu dengan banyak orang. Jadi kita tetap dapat melayani mereka dengan baik” ujar Ikhsan
Meski diakui berat dan kerja bisa dibilang tanpa durasi waktu yang jelas, baik Ikhsan dan Fadhil mengakui mereka menjalankan ini dengan fun dan tanpa beban. Sebaliknya mereka menganggap ini sebagai sebuah pelajaran yang harus diikuti dengan sungguh-sungguh.
“Saya banyak belajar tidak hanya dari para atlit tetapi juga rekan relawan. Saat training ada yang selama hidupnya menjadi relawan dan keliling dunia karena menjadi relawan. Saya juga ada keinginan seperti itu” ujar Fahdli yang telah menyelesaikan setoran hafalan 30 juz ini.
Ikhsan, yang juga telah menyelesaikan setoran hafalan 30 juz, juga berpendapat senada. Ia banyak mengambil pelajaran di even ini yang menurutnya semakin melengkapi apa yang telah ia dapat di pesantren.
Kepada para santri yang akan lulus dan baru masuk keduanya berpesan untuk mengikuti apa yang menjadi program pondok meski itu dirasa berat. Karena semua kegiatan yang ada di pondok akan sangat bermanfaat bagi santri selepas ke luar dari pondok nantinya.
“Jangan sampai nanti menyesel begitu lulus pondok” ujar keduanya sambil tersenyum.