Yahaanu

0
282

Kalau mau berhenti, ya berhenti saja seketika. Jangan sedikit-sedikit, jangan nanti-nanti, jangan bilang tidak bisa.

Begitu jurus maut untuk berhenti merokok yang disampaikan Prof Yusril Ihza Mahendra.

Pakar hukum tata negara itu tentu paham, merokok membahayakan kesehatan. Bahkan, seperti bunyi label peringatan di bungkus rokok: ‘’Merokok membunuhmu’’.

Menurut penelitian tim riset dari Universitas Toronto, Kanada, berhenti merokok sebelum usia 40 tahun dapat menebus seluruh kehidupan yang sempat tercuri akibat merokok (New England Journal of Medicine, edisi 25 Januari 2013).

Prabhat Jha, ketua tim peneliti itu, menegaskan, bekas perokok tetap memiliki risiko mati lebih cepat ketimbang mereka yang sama sekali tidak merokok. Tapi, risiko mereka lebih kecil dibanding perokok yang bandel.

Berdasarkan penelitian terhadap responden Amerika Serikat, tim menemukan bahwa mereka yang berhenti merokok pada usia 35-44 tahun memperoleh kembali 9 tahun usia yang sempat dicuri racun rokok. Sedang mereka yang berhenti merokok pada usia 45-54 dan 55-64 hanya dapat menebus 6 dan 4 tahun tambahan kehidupan.

Bang Yusril dulunya perokok berat. Bahkan ia pernah keluar dari ruang rapat bersama Presiden SBY, demi hendak merokok barang sebatang.

Tapi kini, toh ia bisa berhenti merokok. Kuncinya, ‘’Jangan bilang tidak bisa.’’

Kita yang pernah nyantri di Pondok Gontor, akrab dengan istilah “yahaanu”. Kosa kata dari ragam Bahasa Arab pasaran ini dipopulerkan oleh pimpinan Pondok Modern Gontor, Al-Ustadz Dr KH Abdullah Syukri Zarkasyi. Beliau hampir selalu mengucapkannya dalam acara khuthbatul ’arsy (pekan perkenalan), kuliah umum, maupun sejumlah even rutin lainnya.

Yahaanu bermakna berlagak, sok, belagu –dalam arti positif. Ia merujuk pada sosok yang berusaha berbeda dengan penuh percaya diri. Yahaanu mempersepsikan orang yang pede dan optimis, pantang bilang ‘’tidak bisa’’. Misalnya dipakai dalam frasa yahaanu mahir (berlagak seperti orang pandai), yahaanu tsiqoh (sok keren), yahaanu nasyiith (sok rajin). Kalau sedang gojek sesama santri, bilangnya begini: ‘’Yahaanu jiddan ente (belagu banget kamu)’’.

Yahaanu dalam bahasa motivasi Barbara Krouse adalah: “Tanamkan rasa percaya diri, dan bertindaklah seolah-olah anda punya rasa percaya diri, sampai benar-benar punya”.

 

Dengan yahaanu seorang Soekarno menjadi tokoh legendaris dunia. Dengan yahaanu pula Haji Agus Salim berani membalas sindiran pemimpin Amerika pada masanya.

Dengan yahaanu Aa Gym mempopulerkan cengkok Basa Sunda dalam dakwah. Pun dengan yahaanu Ustadz Yusuf Mansur semakin mempopulerkan ujaran Betawi dalam dunia dakwah. Dan kini dengan yahaanu, Daarul Qur’an memancang Dream 115: Mendirikan 100 pesantren yang tersebar di 100 kota dan terserak di 5 benua. Azzam yang akan terwujud hingga tahun 2020 insya Allah.

‘’Orang Kulon’’ bilang: ‘’You can if you think you can”. Padahal, jauh sebelumnya kita sudah punya modal: “Aku (Allah) ini mengikuti prasangka hamba pada-Ku” (Hadits Qudsi riwayat Imam Tirmidzi dari Abu Hurairah ra).

Suatu hari, saya meladeni seorang anggota jamaah Klinik Spiritual Wisatahati Jawa Tengah. Orang ini, maaf, datang berpakaian agak lusuh, raut mukanya madesu (masa depan suram), penuh beban hidup seperti orang yang yang la yahya wala yamuut alias hidup segan mati tak mau.

‘’Ada yang bisa saya bantu, Mas,’’ saya membuka cakap.

“Anu, Ustadz..,” ia mencoba mengutarakan maksudnya, namun serasa berat lidahnya untuk melanjutkan bicara.

Setelah sekian jenak, saya berinisiatif mencairkan suasana. “Ada apa dengan anunya, Mas?’’ kata saya.

Ia tersenyum, dan bisa melanjutkan kalimatnya yang terputus. ”Nganu Ustadz… Saya ini kurang percaya diri. Setiap saya usaha selalu gagal, mohon nasehatnya dan pencerahan untuk Saya, Ustadz…’’

‘’Umur Mas berapa?” tanya saya.

“38 tahun,” jawabnya singkat.

Saya terus mencecarnya dengan beberapa pertanyaan lagi: ”Pendidikan terakhir Mas? Punya anak berapa?”

“Strata satu, Ustadz. Anak saya sudah tiga.”

Mmmhh, kok iso yo?” saya sedikit mengerutkan kening tanda tidak percaya dan penasaran something wrong-nya dimana.

Kemudian saya suruh ia untuk rilex dengan menggerakkan tangan dan lehernya. Sambil dia gerak, saya menuturi:

“Mas, Mas ini kurang bersyukur dengan pemberian Allah berupa kesehatan, nikmat umur, nikmat berkeluarga, amanat berupa anak, pendidikan tinggi dan seabrek karunia Allah yang lain. Yang ada Mas hanya mengeluh dan mengeluh. Coba Mas tengok orang lain, betapa banyak orang yang saat ini sedang terbaring di rumah sakit, betapa banyak orang seusia Mas sudah dipanggil Gusti Allah, betapa banyak orang yang seumuran Mas belum berkeluarga. Bahkan ada yang sudah berkeluarga sampai beberapa tahun namun belum juga diamanatin anak oleh Allah. Betapa banyak pula orang yang tidak mampu mengenyam pendidikan setinggi Mas.

Maka, jangan bunuh masa depan anak Mas karena rasa kurang percaya diri yang terus mendekam dan seakan-akan betah dalam diri Mas. Mas ini terkungkung oleh pikiran I can’t do it, saya engga bisa, ora iso…. Ketahuilah sikap seperti itu akan merugikan diri kita dan menghancurkan harapan orang lain yang menjadi tanggung jawab Mas!”

Di penghujung taushiyah keras saya, saya tepak tangan orang itu. “Mas! Tanamkan kalimat ini dalam dada dan pikiranmu: ‘’Aku bisa, I Can, Aku iso. Saya hari ini bukan saya yang kemarin.”