Oleh : Mahfud Fauzi
Staf Biro Dakwah Pesantren Tahfizh Daarul Quran
Badan Penelitian dan Pengembangan, Pusat Kurikulum Kementrian Pendidikan Nasional (2010: 9-10) mengidentifikasi 18 nilai pendidikan karakter sebagai berikut: Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja keras, Kreatif, Mandiri, Demokrasi, Rasa ingin tahu, Semangat kebangsaan, Cinta tanah air, Menghargai prestasi, Bersahabat dan kumunikatif, Cinta damai, Gemar membaca, Peduli lingkungan, Peduli social, Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
Ketika anak-anak sekolah hobi tawuran hingga baku bunuh; di saat anak-anak remaja kecanduan narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba); manakala kasus perkosaan biasa menimpa remaja wanita bahkan anak-anak dibawah umur, orang lalu bertanya salah siapa? Jika orang mencari kesalahan tuduhan pertama tentu mengarah pada pendidikan sekolah. Tapi pihak sekolah pasti akan mengkritik pendidikan orang tua. Orang tua pun merasa tidak berdaya melawan pengaruh kehidupan masyarakat yang rusak. Seperti sebuah lingkaran, orang tidak segera menemukan sebab awalnya.
Akhirnya, solusi yang ditawarkan adalah pendidikan karakter (character education) yang dibebankan ke pundak sekolah. Di Amerika pendidikan ini sebenarnya bukan hal baru. Sebelum terjadi huru-hara kekerasan di sekolah-sekolah Amerika, Horce Mann, tokoh pendidikan Amerika, sudah mendukung dan mengarahkan adanya program pendidikan karakter di sekolah. Tapi ia bersama tokoh pendidikan abad 20 ragu pendidikan karakter ini akan mengarah pada pendidikan moral. Sebab moral biasanya dikaitkan dengan keluarga dan gereja.
Menurut Vessels, G. G untuk pencegahan dekadensi moral (Character and community development: A school lanning and teacher training handbook, 1998, hal.5). Tapi menurut Beach, W dan Lickona, T., ini bukan hanya mencegah tapi sudah harus memperbaiki moral yang sudah merosot. (Lihat Beach, W. Ethical education in American public schools. Lickona, T. (1991). Educating for character: How our schools can teach respect and responsibility).
Tokoh pendidikan Azyumardi Azra menjelaskan, bahwa kini di pondok pesantren tidak hanya ditemukan pendidikan agama seperti madrasah, tapi juga sekolah umum, bahkan beberapa juga memiliki sekolah untuk kejuruan. Bahkan beberapa juga memiliki lembaga ekonomi dan kesehatan sendiri “Pesantren itu sekarang menjadi ‘Holding Institution’, mulai yang murni agama, maupun yang bersifat umum, di bawah Kemendikbud,” ujarnya dalam The Jakarta Workshop on Promoting Cross Cultural Educational Exchanges in ASEAN, di Hotel Sari Pan Pacific, Thamrin, Jakarta Pusat, Senin, 28 November 2016.
Sekolah dan pesantren pasti berbeda secara kelembagaan. Sama-sama bergerak dibidang pendidikan dan ikut memajukan dalam mencerdaskan bangsa. Beda kurikulum, metode, aktifitas dan waktunya jika pesantren 24 jam dan sekolah hanya maksimal 8 jam. Dari analisa ini dapat dikerucutkan bahwa dalam rangka membentuk sebuah karakter bangsa melalui wilayah pendidikan maka lebih pantas jika lembaga yang bernaung seperti pesantren itu layak dan bahkan menjadi lumbung dan tempatnya pembangunan karakter bangsa, jauh sebelum lembaga sekolah itu terbangun di bumi nusantara. Implementasi pembentukan pendidikan karakter di sekolah rasanya masih menjadi sebatas kajian dan pembahasan, betapa tidak, karena keterbatasan waktu dan lingkungan yang tidak mendukung. Semenatra, di pesantren ditunjang penuh oleh dukungan waktu Betapa tidak, pendidikan yang di gembleng sejak bangun tidur hingga bangun tidur kembali ini sangat memungkinkan peserta didik dapat melakukan sebuah perubahan besar menuju karakter yang di harapkan. Maka, daripada hanya anak kita sekolah saja, lebih baik langsung plus di pesantrenkan yang di dalamnya akan mendapatkan semuanya. Dengan kata lain secara tidak berlebihan, maka kaidahnya adalah Pedidikan Karakter itu ya Pesantren.
Wallahu a’lam