Jika buka usaha sebelum subuh, atau berangkat sebelum subuh, perhatikan waktu shalat subuh. Ketika datang waktu subuh, ya tutup, jeda. Tutup atau jedanya juga jangan pas-pasan. Jedain 5-10 menit sebelum subuh. Jangan ampe kehilangan waktu subuhnya. Kenapa demikian? Sebab inilah rundown hidup yang benar.
Biasanya nunggu adzan baru tutup. Sedangkan nunggu adzan saja itu berarti sudah “memangkas waktu shalat. Paling tidak menunda untuk bergegas menuju shalat. Kurang sregep, begitu kata orang Betawi. Kalo nunggu adzan, iya kalo mesjidnya tinggal selangkah, kalo masjidna jauh dan qomatnya cepet banget, maka akan hilang “rundown” kehidupan. Putus rantai barang semata dua mata. Yakni shalat tahiyyatul masjid dan shalat sunnah fajar atau qobliyah subuh.
Apalagi kalau sampe telat atau malah gak shalat subuh, wuah ntar nih, dunia yang gak seberapa, didapat. Tapi subuh yang luar biasa, hilang dari pandangan mata dan terlepas dari genggaman tangan.
Itu untuk usaha yang bukanya subuh. Gimana kalo yang bukanya agak siangan?
Jika bukanya agak siangan, maka lebih menguntungkan. Di pagi hari setelah shalat subuh masih bisa jalan muter pulangnya, sebagai sunnahnya pulang dari masjid. Masih bisa silaturahim denan tetangga kanan kiri, khususnya tetangga yang dilalui pergi dan pulang ke masjid. Masih bisa makan nasi uduk dan bertemu warga. Seger kok. Nikmat.
Jika bukanya pagi, usahakan datang ke tempat dalam keadaan wudhu. Sempetin shalat sunnah dhuha sebelum berangkat. Baca sedikit wirid di waktu dhuha. Sedikit sedekah pagi. Baru deh jalan.
Nanti nih pas siang dikit, kuping awas dengan waktu dzuhur, tutup lagi. Seberapapun banyakanya pelanggan, seberapapun banyaknya customer. Betul itu. Seberapapun banyaknya klien atau tamu, wis, break dulu. Shalat dulu. Lebih dulu ketimbang sebutan ontime. Ontime mah masih pas-pasan. Ini mah lebih dari skeedar datang tepat waktu. Yakni datang di awal waktu.
Masya Allah saya nulis ini kayak bener aja ya? Doain saya dah ya.
Sebelum adzan zuhur udah ke masjid. Udah jalan ke masjid. Tinggalin dulu. Dan gak shalat dzuhur kecuali shalat sunnah dulu; tahiyyatul mashid, syukur wudhu, wabliyah, baru deh ngikut tuh dzuhur berjamaahnya. Kemudian tutup dengna yang
manis, dengan dzikir ba’da shalat dan ba’diyah.
Ulangi di ashar, maghrib, dan isya.
Nanti tutup malam, sebagai laporan kepada Yang Memiliki Usaha dengan shalat sunnah 2 rakaat. Cakep.
Jika saudara udah punya duluan usahanya, maka ketika Saudara melakukan ini, Saudara udah disebut kaya betul dah. Yakni ketika Saudara bisa mengesampingkan urusan dunia untuk mementingkan urusan Allah dan akhirat. Usaha dunia mah gak bisa ke akhirat jika tuh usaha gak dibawa untuk bekal akhirat. Malah akan menyusahkan jika usahanya menjadi sarang kelalaian kita sama Allah.
Untuk saudara, para pebisnis, para pekerja, pikirin aja dengan keadaan diri Saudara, dengan mengambil i’tibar atau hikmah dari contoh usaha tadi.
Pada tahun 2009, ada seorang ibu datang kepada saya dan anaknya. “Uang saya dibawa kabur sama temennya suami saya, Ustadz. Gimana nih, Ustadz? Saya jadi stress mikirin.”
Itu tuh. Sebenernya efek dari Laa Ilaha Illallaah kita paham bahwa yang memberi adalah Allah, yang mencabut juga Allah. Dengan demikiran, pikiran kita enteng. Begitu ilang duit, ya kembaliin dulu kepada Allah.
Saudara harus bulet Laa Ilaaha Illallaah-nya. Jangan tawakal itu cuma sampai urusan yang susah-susah. Tidak. Tawakal itu pun termasuk urusan yang seneng-seneng.
Tawakal itu adanya di mana? Di akhir? Gak juga. Tawakal juga ada di awal. Begitu Saudara dijabattanganin sama pimpinan perusahaan, “Selamat ya, Saudara hari ini kerja disini.” Maka, di hari itu tawakal sudah harus ada. Apa maksudnya? Allah memberi pekerjaan, maka Allah pula yang nanti bisa mencabut pekerjaan ini.
Ketika Saudara buka pintu toko nih, jegrek. Pada saat itu tawakal harus sudah ada. Bukan selalu di akhir tawakal itu. Di awal, persiapkan diri buat tawakal, buat pasrah. “Hari ini, Ya Allah, mau laku, gak laku, yang penting saya sudah berusaha. Berusaha itu adalah ibadah dan ibadah itu mendatangkan rezeki, terserah Engkau, Ya Allah. Engkau mau ngasih saya rezeki, terserah Engkau, terserah Engkau aja dah, pokoknya saya dagang.”
Saudara dagang nih, terus di waktu dhuha, Saudara luangin waktu buat shalat dhuha. Alhamdulillah setelah shalat dhuha gak laku-laku. Gak ada urusan sama kita, gak ada urusan. Kita percaya rezeki kita bukan dari customer, rezeki kita bukan dari klien, rezeki kita bukan dari buyer, rezeki kita bukan dari pelanggan kita, tapi rezeki kita mutlak minallaah, Laa Ilaaha Illallah.