Tanggal 14-20 April 2018 lalu sejumlah pimpinan pondok pesantren Indonesia berkunjung ke Australia dalam Program Social And Cultural Visit To Australia. Kunjungan yang diinisiasi oleh Pondok Pesantren Darunnajah ini bertujuan untuk mengembangkan jaringan kerjasama luar negeri bagi pesantren di Indonesia. Berikut serial catatan dari kunjungan tersebut.
Masjid Sebagai Pusat Pendidikan Islam
Rombongan pimpinan pesantren tiba di Australia di tengah hembusan angin dan dinginnya udara pagi hari. Rombongan yang terdiri dari Ustadz Much Hasan Darojat, Ph.D., Ustadzah Rizma Ilfi, S. I. Kom, (Keduanya adalah Penanggung jawab DIRO, Darunnajah International Relations Office), Bapak KH. Dr. Fadlil Munawwar Manshur dan KH. Dr. Hasan Basri (keduanya adalah Pimpinan Pondok Pesantren Darussalam Ciamis), Ustadz Fairuz Nahiduddin (Pesantren La-Tansa Lebak Banten), KH. Ahmad Jamil Micing (Pesantren Daarul Qur’an, Tangerang) berkunjung ke Australia dalam program Social and Cultural Visit to Australia, 14-20 April 2018.
Program yang diinisiasi oleh Pondok Pesantren Darunnajah ini bertujuan untuk mengembangkan jaringan kerjasama luar negeri bagi pesantren di Indonesia. Selain itu kegiatan ini juga untuk mengetahui bagaimana sistem dan budaya pendidikan di negeri Kanguru, yang nantinya bisa menjadi wacana baru bagi sistem pendidikan di pesantren Indonesia.
Dipandu oleh Dr. Lily Yulianty salah seorang dosen di Melbourne University, para delegasi dikenalkan ke beberapa komunitas Muslim Indonesia yang berjuang menuntut dan ilmu dan mencari nafkah di Aussie (sebutan akrab negara Australia). Pertama rombongan diajak ke sebuah ruko yang dibeli oleh masyarakan Indonesia dan diberi nama Masjid Surau Kita. Selain digunakan sebagai tempat ibadah seperti shalat berjamaah, pengajian, kumpul dan silaturrahim, di masjid ini juga dijual produk makanan khas Indonesia. Yang unik sistem penjualannya dimana para pembeli tinggal mengambil barang dan membayar sesuai harga sendiri tanpa bantuan penjaga. Benar-benar menguji kejujuran seseorang. Kehadiran ruko ini menjadi tempat mengobati kangen masakan Indonesia.
Setelah itu kami mengunjungi sebuah masjid, bagian dari Islamic Center yang baru selesai dibangun dan sudah dipakai hampir 2 tahun bertempat di daerah Newport Melbourne Australia. Di sana kami bertemu dengan Syaikh Muhammad al-Jibaly, warga negara Mesir yang sudah 2 tahun tinggal di Australi dan pernah belajar di salah satu negara Eropa untuk tingkat strata-1. Menurutnya masjid ini menjadi penting karena tidak hanya menjadi tempat ibadah saja tapi juga berperan dalam mengajarkan agama islam di negeri-negeri minoritas.