Ada sebuah kalimat yang sebetulnya masih menjadi perdebatan apakah ini hadits atau perkataan sahabat yakni, “Uthlubul ‘ilma walaw bishshiin” yang berarti “Tuntutlah ilmu hingga ke negeri China”,
Terlepas dari perdebatan itu kita anggaplah ini sebuah dream atau motivasi untuk menuntut ilmu hingga ke negeri yang jauh. Pertanyaannya ada apa dengan China? hingga sejak lama ada kalimat tersebut. Pastinya negeri ini menyimpan sesuatu.
Dalam banyak literatur sejarah China dikenal sebagai bangsa yang hebat dalam dunia perdagangan dan juga ilmu medis. Maka itu di Chengdu University kini ada studi Traditional Chinese Medician yang mempelajari bagaimana ilmu kesehatan tradisional China hingga kini masih relevan dalam dunia kesehatan modern. Kini banyak dokter dari Eropa, Amerika dan Timur Tengah yang mengambil kuliah singkat di sana untuk mempelajari dunia kesehatan tradisional di China.
Alhamdulillah kini ada beberapa alumni Daarul Qur’an yang belajar di Lanzhou University dan Chengdu University. Mereka masing-masing Alma Hendra, Fiandi Averil Kurnia, Muhammad Rafi Aditya yang mengambil studi teknik di Lanzhou Jiaotong University serta Hafizh Akbar. Adl Noor Vindhy. Ridho Ramadhan Hanafi dan Muhammad Rizki Putra yang belajar di Chengdu TCM University.
Saya merasa anak-anak kita berada di tempat yang tepat, Lanzhou University dikenal sebagai basis teknologi di China tempatnya pakar kereta cepat di negeri Tirai Bambu tersebut. Kota ini juga dikenal sebagai kota dengan sejarah yang kuat. Kota ini dulu termasuk dalam jalur sutera, jalur perdagangan kuno dan dalam cerita Kera Sakti kota ini juga dilewati dalam proses pencarian kitab suci. Sementara itu Chengdu adalah kota yang tepat untuk belajar ilmu kedokteran modern dan tradisional. Kedua kampus ini juga memiliki standar keilmuan yang bagus dengan sarana yang komplit.
Alhamdulillah para santri terlihat happy meski berada di lokasi yang berbeda dengan kondisi di Indonesia. Bekal pesantren melekat dalam diri mereka. Dengan cepat mereka beradaptasi pada lingkungan, iklim, makanan serta bahasa. Sedikit demi sedikit lidah mereka mulai terbiasa dengan makanan halal di China yang pastinya berbeda soal ramuan dari makanan di rumah mereka. Begitu juga soal bahasa mereka mulai belajar bahasa mandarin serta memantapkan pemahaman bahasa Inggris. Yang tidak kalah membanggakannya mereka mulai bisa mengatur ritme agar tidak ketinggalan sholat lima waktu.
Kampus di China pastinya berbeda dengan di tanah air yang di setiap fakultasnya memiliki tempat untuk shalat, minimalnya mushola kecil. Di sana tidak ada. Anak-anak kerap bolak-balik dengan berlari dari ruang kelas ke asrama untuk mendirikan shalat. Sedangkan untuk shalat Jumat mereka bisa shalat di masjid yang ada di luar areal kampus. Di Lanzhou sendiri ada cukup banyak masjid yakni 136. Meski ada isu terkait muslim Uighur, di Lanzhou muslim bisa beraktivitas dengan baik. Rumah makan halal food juga banyak tersebar. Serasa berada di kampung sendiri.
Berdasar cerita Imam Mukhtar yang memiliki nama asli Wan Jung, Imam di Masjid Al-Ikhlas, Islam sudah lama masuk di China yakni sejak abad ke 7 masehi, di masa pemerintahan Dinasti Tang. Bahkan ada catatan pernah ada kunjungan diplomatik dari utusan Khalifah Ustman bin Affan ke negeri China.
Satu yang membuat kagum adalah ketika mereka sudah melakukan transaksi nontunai. Mereka yang berbelanja tinggal scan kode QR lewat ponsel mereka maka otomatis saldo berkurang sesuai nilai transaksi mereka. Saat ini ada 3 aplikasi pembayaran yang digunakan yakni Alipay yang menguasai hampir 70 persen dari 1,4 miliar penduduk China lalu ada WeChat Pay yang menguasai 20 persen serta ada Union. Sudah sangat jarang kita menyaksikan penduduk China menggunakan uang cash, modal mereka ada di telepon genggam. Sistem pembayaran juga terintegrasi misal untuk pembayaran pintu tol yang akan memotong saldo secara otomatis setelah memindai nomor polisi.
Tentang perkembangan fintech ini ada cerita menarik dari Dr. Ding, dosen di Lanzhou University yang mendampingi selama di China, kisahnya dulu China belajar ke Singapura tentang how to manage government. Tapi Kini berbalik dimana Singapura belajar Fintech ke China.
“Mereka belajar ke kami layaknya anak SD yang masuk kampus dengan penuh kekaguman” ujar Dr. Ding dengan bangga.