“Siapa yang ingin ke Jalur Gaza?” tanya Abdullah Onim kepada ribuan santri Pondok Pesantren Tahfizh Daarul Qur’an, Ketapang, Tangerang.
“Saya…” serentak santri menjawab sambil mengacungkan tangan.
“Tapi siap untuk tidak kembali?” tanya Onim kembali.
Tidak terdengar jawaban yang jelas hanya bisik-bisik diantara santri kepada sesamanya.
Abdullah Onim merupakan aktivis kemanusiaan yang lama menetap di daerah konflik Jalur Gaza, Palestina. Dalam sela-sela kunjungan ke Indonesia bersama Istri dan kedua anaknya ia menyempatkan diri untuk menyapa santri-santri Daarul Qur’an, Selasa (12/9).
Dihadapan para santri ia mengatakan dirinya dan Daarul Qur’an tidak bisa dilepaskan. Mengingat pada tahun 2013 pria asal Galela, Halmahera Utara, ini mendapat amanah untuk membangun sekaligus mengawasi Graha Tahfizh Daarul Quran di Gaza, Palestina.
Abdillah Onim pun mengisahkan kedatangan dirinya yang pertama kali ke Jalur Gaza pada 2008 lalu bersama banyak aktivis kemanusiaan asal Indonesia untuk memberikan bantuan ke Gaza, Palestina. Lalu karena kebijakan blokade Israel dan juga pemerintah Mesir dirinya “terpaksa” harus menetap lama di tanah para nabi tersebut.
“Saat itu saya tidak bisa bahasa Arab dan juga tidak mempunyai banyak kawan seperti di Indonesia”
Namun “kecelakaan” tersebut tidak membuatnya bersedih. Sebaliknya ia tetap semangat untuk terus membantu masayarakat di sana yang berpuluh-puluh tahun berada di bawah penjajahan Isreal.
“Alhamdulillah, keberadaan saya di tanah Gaza ini membuat kawan-kawan di Indonesia memiliki kemudahan dalam menyalurkan bantuan” ujarnya.
Ia pun menikmati kehidupan di Jalur Gaza meski nyawa sebagai taruhan hingga dapat mempersunting perempuan asli Palestina bernama Rajaa hingga dikarunia dua anak.
Dihadapan para santri pria yang akrab dipanggil Bang Onim ini juga berkisah tentang Graha Tahfizh Daarul Qur’an yang pada tahun 2014 lalu di bom oleh pesawat tempur Israel. Alhamdulillah, saat pemboman itu terjadi ia tengah berada di lantai 3 dan seluruh santri belum datang ke Graha Tahfizh.
“Sedihnya saat itu Graha Tahfizh baru saja satu pekan rampung pembangunan dan kita baru memulai pendaftaran santri” kenang Bang Onim.
Meski berada dalam kemiskinan dan ancaman peluru anak-anak Palestina di Jalur Gaza tidak melupakan kewajiban untuk menghafal Al-Quran. Bang Onim pun mengaku malu dengan keadaan tersebut. Karena dirinya saat kecil meski berada dalam keadaan aman dan tidak ada perang namun kerap lalai dalam menghafal Al-Qur’an.
“Maka itu santri-santri di Daarul Qur’an jangan mau kalah dengan santri-santri Gaza. Mereka meski harus sering berpuasa karena tidak ada makanan dan listrik yang hanya dijatah 2 sampai 3 jam perhari namun dalam 3 bulan mampu menyelesaikan hafalan Al-Quran 30 juz” ujar Bang Onim.
Graha Tahfizh di Gaza sendiri kini telah berdiri lagi dengan total 240 santri dimana sebanyak 56 santri telah berhasil menyelesaikan hafalan 30 juz.
“Terima kasih kepada Daarul Qur’an dan seluruh donatur serta doa-doa para santri kepada kami di Gaza. Semoga kemerdekaan yang saudara-saudara kita di sana cita-citakan bisa segera terwujud hingga anak-anak Palestina bisa menikmati masa mudanya untuk bermain dan belajar tanpa harus takut adanya terjangan peluru dan bom dari Israel” tutup bang Onim yang disambut gema takbir oleh para santri.
Terakhir Bang Onim pun mengatakan meski kini dirinya sudah berada di Indonesia yang jauh lebih nyaman dan aman dibanding Jalur Gaza dirinya tidak kapok untuk kembali ke sana. Selain perannya masih banyak dibutuhkan ia mengaku Jalur Gaza telah menambatkan cinta yang dalam pada hatinya.