Fauziyah Ilma, Santri Tahfizh Camp Malang Jadi Bintang IBF Malang

0
42

Baris kendaraan terparkir rapi memenuhi sebagian ujung bundaran alun-alun Tugu Malang, Rabu (4/2) Pagi, sebuah tenda besar berdiri kokoh menaungi barisan stand yang menyajikan buku, kitab hingga busana muslim dan para pengunjung yang meramaikan giat literasi Islamic Book Fair (IBF) Malang yang digelar mulai 30 Januari hingga 5 Februari 2020.

Menyisiri deretan stand, Fauziyah Ilma Ristyani santri Tahfizh Camp Malang ditemani sahabatnya berjalan melangkah menuju penggung utama. Hari itu, didampingi oleh Amalia Julianti sebagai fasilitator parenting damn host serta narasumber utama Handajani Sridjatiningdyah, S.Psi, S.Pd, Fauziyah akan berbagi pengalaman kepada pengunjung IBF dengan tema “Tumbuh Kembang Santri Pesantren”.

Handajani menyampaikan betapa pentingnya pola asuh orangtua sebelum menjadikan pesantren sebagai pilihan pendidikan bagi anak-anaknya. Diantaranya “setting goals antara orangtua dan anak dengan membangun kepercayaan diantara keduanya, selanjutnya pilih atau ciptakan suasana yang mendukung demi tercapainya goals tersebut.”, jelas Handajani yang juga aktif sebagai konselor di Rumah Belajar Amel.

“Saya pernah bercita-cita kelak ingin punya anak seorang penghafal Qur’an. Tapi takdir membawa saya pada sebuah mimpi. Mimpi yang saya yakin tentu tidak ingin dialami oleh anak-anak lain. Dalam suatu tidur, saya bermimpi dihadapkan pada situasi dimana orangtua saya meninggal dunia. Saat itu dalam mimpi saya tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya meratap sedih hingga tangis membangunkan saya dari tidur saat itu.”, ujar Ilma memulai sharing dengan nanar matanya.

“Sejak itulah saya berpikir, betapa egoisnya saya mengharapkan kelak memiliki anak penghafal Qur’an sebagai penyelamat saya. Bukankah saya adalah anak dari ayah dan ibu saya ? maka sejak itu saya niatkan untuk menghafal Qur’an dan akan saya persembahkan untuk kedua orangtua saya.”, jelas gadis cantik yang bercita-cita menjadi seorang penulis yang hafal Qur’an ini memecah suasana.

Dalam kesempatan ini, Ilma juga memaparkan alasannya untuk menjadi seorang penulis, “Karena dengan menulis saya bisa memprovokasi teman-teman seusia saya dengan kebaikan tanpa harus menjadi mubalighah berbicara di depan banyak orang. Cukuplah dengan tulisan tentu jika ada yang tak suka mungkin mereka hanya tidak menyukai gaya tulisan saya saja, tidak dengan orangnya.”, jelas santri yang telah menyelesaikan 20 juz hafalannya.

“Anak ini satu dari banyak contoh betapa pola tumbuh kembang santri pesantren itu tidak dapat lepas dari awal pondasi lingkungan dimana ia tinggal bersama orangtuanya. Saya jadi penasaran ingin berjumpa dengan orangtuanya. Jika ada waktu, saya berharap bisa duduk bersama mereka.”, ujar Handajani mengakhiri talkshow pagi itu.

Pentingnya pola asuh, kepemahaman, trust, juga lingkungan sangat menjadi pondasi awal dalam membangun karakter peserta didik, khususnya pesantren yang notabanenya membangun kemandirian dan mewujudkan cita-citanya kelak.

Oleh : Rosi, MG Tahfizh Camp Daarul Qur’an Malang