Tokoh-tokoh nasional berkumpul di Institut Daarul Qur’an (Idaqu) untuk berdiskusi mengenai wawasan kebangsaan dengan tajuk “Wawasan Kebangsaan Menurut Perspektif Akademik”. Acara digelar Hari Kamis (17/6/2021) pagi hingga siang hari di kampus Idaqu, Jl. Cipondoh Makmur Raya, Cipondoh, Tangerang. Diskusi diikuti oleh dosen dan akademisi Lembaga Pendidikan Daarul Qur’an serta peserta umum lewat Virtual Meeting Zoom.
Momen diskusi ini melengkapi rangkaian penandatanganan nota kesepahaman antara Idaqu dengan lima lembaga nasional, yakni Majelis Ulama Indoensia (MUI), Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Asosisasi Dosen Indonesia (ADI), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, serta Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). Kerjasama menyoal berbagai sektor akademik maupun support system untuk kedua belah pihak.
Pimpinan Umum Daarul Qur’an, KH Yusuf Mansur, membuka acara dengan sambutannya. Beliau berujar, kecintaan kita terhadap bangsa Indonesia harusnya sudah terpupuk mengingat anak bangsa banyak yang berkarya dan diakui dunia, berikut tradisi nasional yang menggugah banyak bangsa.
Dalam bidang pendidikan, Indonesia telah lama diakui sebagai penyuplai ulama-ulama besar yang menjadi guru imam-imam besar Haramain.
“Saya pengen dekan-dekan universitas di Malaysia adalah anak-anak Idaqu. Sekarang kita ekspor mahasiswa mahasiswi, nanti kita ekspor pimpinan-pimpinan terbaik,” ujarnya.
Dream yang diucapkan Kyai Yusuf itu menjadi magis buat Idaqu. Sang Rektor, Dr. H. M. Anwar Sani, S.Sos.I, M.E., berujar bahwa Kyai Yusuf memang selalu menggelora ketika berbicara sebuah impian. Ia mengatakan, perjalanan Daarul Qur’an dari dream Kyai Yusuf pun bisa menjadi inspirasi untuk pembangunan bangsa.
“Kata Kyai Yusuf, Daqu akan segede lantainya bumi, atapnya langit. Terwujud dengan lembaga pendidikan baik formal maupun non formal. Sekarang jumlahnya ratusan ribu di Indonesia maupun mancanegara,” tukasnya.
Setelah sambutan dari dua pimpinan Daarul Qur’an, diskusi pun dibuka. Diskusi dibuka dengan para panelis dalam diskusi ini yakni Sekretaris Jendral ICMI, Mohammad Jafar Hafsah; Sekjen MUI, Dr. H. Amirsyah Tambunan, M.A.; Rektor UMJ, Dr. Ma’mun Murod, M.Si.; Wakoor Kopartais 1 DKI Jakarta, Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, M.A.; serta Sekertaris Senat UIN Jakarta, Prof. Dr. Armai Arief, M.Ag. Satu panelis lain hadir di Ruang Virtual Meeting Zoom, yakni Ketua Umum ADI, Prof. Dr. Dino Pati Djalal, M.A.
Di tengah diskusi, seisi ruangan heboh. Sebabnya, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Periode 2004-2009, Adhyaksa Dault, juga ikut meramaikan diskusi.
Seluruh panelis pun memberikan pandangannya terkait Wawasan Kebangsaan. Rektor UMJ, Dr. Ma’mun Murod menerangkan bahwa wawasan kebangsaan terbagi dua, yakni teks dan konteks. Dikatakannya, secara teks semua masyarakat sudah hafal, namun tidak dengan konteksnya.
“Perilaku kita harus dijaga. Kaburo maktan ‘indallahi taquulu ma laa ta’malun,” terangnya megutip surat As-Saff ayat 3 yang artinya “(Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” Singkatnya, wawasan kebangsaan bukan hanya di mulut belaka, namun harus diaktualisasi dalam kehidupan.
Mengutip sila pertama Pancasila, Sekjen MUI, Prof. Amir menjelaskan bahwa masyarakat yang berwawasan kebangsaan haruslah berketuhanan yang maha esa. Karena itu merupakan martabat, gengsi, serta nilai-nilai penganut bangsa.
Ia juga menambahkan, “tujuan bernegara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia,” tuturnya.
Prof. Armai yang sudah malang melintang di berbagai organisasi untuk membina pendidikan anak bangsa pun turut menyuarakan pandangannya. Ia pun sependapat dengan Prof. Amir. Menurutnya, dalam bidang pendidikan, tujuannya pun harus membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa.
Selanjutnya, Prof. Thib Raya juga menerangkan hal serupa. Ia menambahkan bahwa dengan dasar sila pertama itu, masyarakat Indonesia juga harus bekerja dan berkarya. “Dan semua keahlian itu harus mencapai kehidupan kalian,” jelasnya.
Dino Pati Dajalal yang lama menempuh studi di luar negeri mengungkapkan salah satu kekuatan Indonesia yang selama ini masih belum tereksploitasi, yakni ekonomi. Peraih gelar doktor di London School of Economics and Political Science ini juga berujar, wawasan kebangsaan juga harus selaras dengan menjaga identitas bangsa.
“Kalau kita mau unggul di abad 21, kita harus menjaga identitas disertai dengan keunggulan,” jelasnya.
Adhyaksa Dault jadi panelis “dadakan” dalam acara ini. Pengalamannya menjadi Menteri tentu amat berharga bagi wawasan kebangsaan masyarakat Indonesia, khususnya bagi para pemuda.
Adhyaksa pun kembali mengutip sila dalam Pancasila, seperti panelis lain. Namun, ia menekankan pada sila ke-4. Menurutnya, isu-isu kebangsaan yang terjadi saat ini tak lain karena aktualisasi hikmah dan kebijaksanaan seperti dalam sila ke-4 itu sudah sirna.
“Kita harus dipimpin dengan orang yang punya hikmah. Hikmah ini diambil dari ajaran agama,” terangnya. Karena bagaimanapun, menurutnya, Pancasila merupakan bagian dari ajaran agama, khususnya Agama Islam.
Adhyaksa menjadi panelis terakhir yang memberikan pandangannya terhadap wawasan kebangsaan. Pimpinan Daarul Qur’an Direktorat Pendidikan, KH Ahmad Jamil pun menutup diskusi dengan memimpin pembacaan doa.