Kebanyakan kita jika bicara tentang dream atau mimpi selalu merasa tidak bisa terlebih dulu. Kita langsung minder atau rendah diri. Padahal guru kita Ayahanda KH. Yusuf Mansur, telah mengajarkan kepada kita untuk selalu memiliki mimpi. Beliau mengawali Daarul Qur’an ini dengan mimpi sederhana ingin memiliki pondok pesantren dan santri. Berawal dari 8 santri kini tumbuh dan besar ada ribuan santri.
Dari beliau kita belajar bahwa mimpi seseorang itu akan menjaid petunjuk dalam kehidupan kita. Ibarat maps dalam perjalanan, maka mimpi kita itu akan membawa kita pada arah yang kita tuju. Sebaliknya jika kita tidak memiliki mimpi maka hidup kita gambang terombang-ambing dan hasilnya akan kita sesali saat besar nanti.
Maka sebuah kesalahan jika ada yang berucap, “Hidup seperti ini saja, seperti air mengalir” sejatinya airn itu mengalir ke satu tujuan yang jelas. Muara dan tempat yang lebih rendah. Begitulah. Ada keteraturan bahkan saat air mengalir.
Tiga tahun yang lalu, alhamdulillah saya berangkat haji bersama ustad Anwar Sani dan ustad Ahmad Jamil. Nah, saat ingin berangkat ke Mina dalam sebuah penginapan kami berada satu kamar dengan salah satu kontraktor yang istrinya juga berdinas di salah satu bank besar di Indonesia.
Lalu saat itu saya tanya, “Pak, anaknya ada berapa?”
“Anak saya ada dua” jawabnya. Lalu bapak ini kembali melanceritakan bahwa yang nomor satu sekarang menjadi salah satu dokter di rumah sakit swasta dan sedang mengambil pendidikan S2 menjadi dokter spesialis, yang satu lagi menjadi animator.
“Bagaimana mereka bisa mencapai itu pak?” jawab saya penasaran.
Lalu si bapak cerita, saat si anak lulus dari sebuah perguruan tinggi ia menemukan sebuah buku tulis, semacam diary, yang depannya ditulis besar “Dreambook”. Ternyata buku ini merupakan tulisan si anak sejak SD. Ia menuliskan apa yang menjadi mimpinya dikemudian hari hingga akhirnya ia bisa menggapai mimpinya tersebut.
Inilah yang disebut motivasi. Si anak bapak tersebut sudah memotivasi dirinya sejak SD. Padahal ia bukan dari sekolah Islam apalagi pesantren. Ia dari sekolah umum. Kita harusnya bisa lebih dari itu. Seperti bagaimana Rasulullah memotivasi para sahabat bahwa pada suatu masa nanti kota Konstantinopel atau sekarang Turki akan jatuh kepada umat Islam.
“Konstantinopel benar-benar akan ditaklukkan. Sebaik-baik amir (khalifah) adalah amir (khalifah) yang memimpin penaklukkannya dan sebaik-baik tentara adalah tentara yang menaklukkannya.” (HR Bukhari).
Perkataan Rasulullah inilah yang akhirnya memotivasi seorang pemuda bernama Muhammad Al-Fatih untuk, dari sejak kecil, rajin beribadah dan menyiapkan diri dengan baik, lalu membangun pasukan terbaik untuk menaklukkan Konstatinopel.
Maka mulailah dari sekarang untuk memotivasi diri kita sendiri. Saya sering melihat tulisan “otw 30 juz” ini bagus pertahankan agar kita memiliki semangat akan hidup kita. Tapi tidak hanya berhenti sampai situ, pikirin lagi selanjutnya, jika sudah 30 juz mau ke mana lagi? Mau belajar di mana lagi? Agar tumbuh kepercayaan diri sekaligus semangat membara untuk meraih tujuan tersebut. Jangan kita mau kalah dari anak bapak dalam cerita di atas yang sudah menuliskan apa yang akan menjadi cita-citanya saat ia besar nanti. Jangan lagi kita berkata, “Liat nanti aja.” Karena kalo sudah begini, yakin, deh, kita akan tertinggalm dan ini merupakan kalimat para pecundang. Ingat Ayahanda Yusuf Mansur selalu mengajarkan kita menjadi The Winner.
Kita belajar dari Mohamed Salah. Saat ia mau pindah ke Liverpool dari AS Roma, ia punya target untuk menjadi pemain nomor satu. Padahal saat itu masih ada Coutinho dan Sadio Mane yang lebih dulu memikat hati fans Liverpool. Namun, berkat motivasi diri akhirnya Salah bisa membuat rekor baru di Liverpool. Kini ia tercatat sebagai pemain tertajam Liverpool di Liga Eropa, Ia juga tercatat sebagai pemain dengan gol terbanyak dalam satu musim pertama dan Ia juga berpeluang menjadi pencetak gol terbanyak di Liga Inggris.
Jadi, ayo mari kita bermimpi dan meraih mimpi tersebut dengan ikhtiar yang dibarengi keimanan dan amal saleh.
foto ; google