Ketabrak dan Menabrak

0
36

Oleh: Ust. Tarmizi As Shiddiq

Obrolan di suatu pagi di rumah Kyai Yusuf Mansur bersama Ustadz Sani dan kawan-kawan Daqu Movie belum lama ini mengingatkan sebuah peristiwa beberapa tahun lalu. Hikmahnya adalah agar kita selalu positive thinking, jangan berburuk sangka, yang merupakan salah satu penyakit hati.

Su’udzon (buruk sangka) terbesar tentu saja kepada Allah SWT. Jika kita su’udzon kepada Allah, maka sesungguhnya kita sedang berbuat tidak baik kepada diri kita sendiri. Sebab, Allah SWT akan memenuhi sangka buruk kita.

Dalam sebuah hadits qudsi dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW menyampaikan firman Allah SWT: “Aku (Allah) ini sesuai dengan persangkaan hamba pada-Ku” (Muttafaqun ‘alaih). Maksudnya, Allah SWT akan memenuhi kata hati hamba.

Dalam peristiwa itu, suatu ketika saya dan istri sedang dalam perjalanan bermobil pulang dari pengajian keluarga. Seperti biasa, lalulintas menuju rumah kami terbilang macet, tak peduli pada hari kerja maupun libur.

“Brakkk, kriiit…,”  tiba-tiba saya dan istri terkagetkan. Persis di depan Mal di kawasan Cinere, mobil saya terbentur mobil di sebelah kanan yang bermaksud putar balik. Saat mobil kami melintasi putaran, moncong mobil yang terbilang mewah itu nyelonong dan mencium body mobil kami.

Reflek saya melihat ke spion mobil untuk mengetahui reaksi mobil yang menubruk tadi. Kemudian saya tetap meneruskan perjalanan.

‘’Abi, kok jalan terus saja?” tanya istri. ‘’Kan dia yang salah, tiba-tiba muter saat mobil kita lewat.”

‘’Iya, biar saja, mungkin dia lagi terburu-buru,” jawab saya kalem. ‘’Yang penyok cuma mobil. Nanti kalau kita turun dan ternyata kita kenal dengan pengendara mobil itu, kan jadi nggak enak. Biar saja deh, positive thinking aja.”

‘’Emang mobil kita ada ansuransinya?’’ tanya istri kembali.

‘’Nggak ada.”

‘’Abi, Abi. Mudah-mudahan jadi ibadah deh,” ucap istri sambil menikmati kemacetan Cinere.

Selang beberapa bulan kemudian, di suatu pagi di tempat yang hampir sama, peristiwa serupa terulang. Cuma, kali ini saya yang menubruk.

‘’Brakkk,’’ kaget saya, saat moncong mobil yang saya kendarai menabrak mobil orang lain.

Bergegas saya menepi, demikian pula mobil yang  tertabrak tadi.

‘’Assalamu’alaikum, maaf Pak ya,” ucap saya sambil menjabat tangan dan  memperkenalkan diri kepada pengendara mobil tersebut. Ia menjawab salam dan jabat tangan saya sambil tersenyum.

Saya periksa mobilnya, ada sedikit penyok dan gores akibat benturan tadi. Kitapun sepakat membawa mobil tersebut ke bengkel terdekat.

Sekitar 15 menit saya membuntuti mobilnya, hingga sampai ke sebuah bengkel.

Kami lalu menyampaikan persoalan mobil ke mekanik bengkel, yang kemudian memeriksa body mobil dimaksud.

‘’Wah, Pak, ini sih tidak ada yang perlu diperbaiki. Hanya penyok dan tergores sedikit saja,” katanya sejurus kemudian.

‘’La yang pang penyok, bagaimana Pak?” tanya saya.

Tanpa menjawab, si mekanik berlalu dan mengambil alat-alatnya. Ia kembali lagi dan membuka bemper mobil. Kemudian sedikit memukulnya dari bagian dalam hingga penyok sembuh. Untuk ‘’mengobati’’ goresan, ia hanya memoles dengan zat semacam dempul hingga kembali mulus.

‘’Sudah selesai Pak, silakan dibawa mobilnya,” ucap mekanik kalem.

Pemilik mobil manggut-manggut puas setelah memeriksa keadaan kendaraannya itu.

‘’Makasih, Pak, jadi berapa biayanya?’’ kata saya kepada mekanik.

‘’Tidak usah, ini tidak ada yang rusak kok. Bawa saja,” jawabnya.

Subhanallah, jawabannya benar-benar di luar dugaan.

Ternyata peristiwa tubrukan kecil ini jadi lantaran kami untuk saling mengenal. Pengendara mobil itu ternyata anaknya bersekolah di tempat yang sama dengan anak saya.

Saya yakin, rejeki buat saya ini akibat investasi  saya pada peristiwa serupa sebelumnya. Perbutaan jahat akan berdampak buruk untuk pelakunya, begitupun sebaliknya.

Tidak ada kerugian kita dengan banyak melakukan amal sholeh, karena Allah akan membalasnya dengan kebaikan.

Demikian pula orang baik akan bertemu dan berteman dengan orang baik, orang yang suka maksiat pun akan bersua dan berteman dengan sesamanya.

Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW menjelaskan tentang peran dan dampak seorang teman. Pesan beliau :

Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap” (HR. Bukhari 5534 dan Muslim 2628).

Hadits di atas mengandung faedah bahwa bergaul dengan teman yang baik akan mendapatkan dua kemungkinan yang kedua-duanya baik. Kita akan menjadi baik atau minimal kita akan memperoleh kebaikan dari yang dilakukan teman kita.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’adi rahimahullah dalam mensyarah hadits tadi menjelaskan bahwa bergaul bersama teman yang shalih akan mendatangkan banyak kebaikan, seperti penjual minyak wangi yang akan memberikan manfaat dengan bau harum minyak wangi. Bisa jadi dengan diberi hadiah olehnya, atau membeli darinya, atau minimal dengan duduk bersanding dengannya, engkau akan mendapat ketenangan dari bau harum minyak wangi tersebut.

Teman yang shalih akan senantiasa menjaga dari maksiat, dan mengajak berlomba-lomba dalam kebaikan, serta meninggalkan kejelekan. Dia juga akan senantiasa menjagamu baik ketika bersamamu maupun tidak, dia juga akan memberimu manfaat dengan kecintaanya dan doanya kepadamu, baik ketika engkau masih hidup maupun setelah engkau tiada. Dia juga akan membantu menghilangkan kesulitanmu karena persahabatannya denganmu dan kecintannya kepadamu (Bahjatu Quluubil Abrar: 148).

Bayangkan, posisi saya sangat rentan dalam peristiwa tadi, baik kepada pemilik mobil yang saya tabrak maupun mekanik bengkel. Mudah saja bagi mereka untuk ‘’mengerjai’’ saya. Namun alhamdulillah, jangankan jadi keributan, tabrakan kecil itu malah menjadi lantaran kita untuk berteman.  Kami juga dipertemukan dengan mekanik yang jujur dan baik hati.

Demikianlah, maka ketika kita mendapat musibah, janganlah berburuk sangka. Perbanyak berbaik sangka, dan sering-seringlah berdo’a agar dijauhkan dari penyakit hati seperti ujub, takabur, hasad, ghibah, dengki, dan sebagainya.

Rasulullah SAW mengingatkan, ”Jauhilah olehmu sekalian sifat dengki, karena dengki itu menghanguskan kebaikan sebagaimana api menghanguskan kayu bakar” (HR Abu Dawud, no 4257).

Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi dalam Ensiklopedi Muslim menyebutkan dua jenis dengki.

Pertama, dengki dengan maksud mengharapkan musnahnya nikmat (harta, ilmu, kedudukan, dan kekuasaan) dari orang lain. Sebagai gantinya, dia berharap mendapatkan semua itu untuk dirinya.

Kedua, dengki dengan maksud mengharapkan musnahnya semua nikmat tadi dari orang lain, meskipun dia tidak berharap mendapatkannya.

Dua jenis dengki ini adalah haram hukumnya. Jadi, seseorang tidak boleh merasa dengki terhadap orang lain. Allah SWT memperingatkan dalam firman-Nya: ”Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang telah Allah berikan kepadanya?” (An-Nisa’:54).

”Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kalian kepada kekafiran setelah kalian beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri” (Al-Baqarah: 109).

Rasulullah SAW menegaskan, ”Kalian jangan saling membenci, jangan saling dengki, jangan saling membelakangi, jangan saling memutus hubungan, namun jadilah kalian sebagai saudara-saudara wahai hamba-hamba Allah. Seorang Muslim tidak halal mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari” (Muttafaqun alaih).