Entah, judul di atas ini cocok atau tidak. Tiba-tiba saya hanya ingin menulis seperti itu. Padahal saya ingat, Guru Bahasa Indonesia saya sering mengajarkan bahwa judul musti mencerminkan isi. Atau, isi tulisan harus tercermin dalam redaksi judul. Di sinilah saya harus sampaikan secara apa adanya bahwa belum tentu judul tulisan ini mencerminkan isinya.
Informasi awal di atas, sengaja saya datangkan untuk saya jadikan semacam: disclimer. Bahwa jika judul tulisan ini ternyata tidak merepresentasikan isinya, kiranya pembaca dapat memaklumi saja. Kalau perlu, maafkan saja.
“Marketing is a social process by which individual and groups obtain what they need and want through creating, offering and freely exchanging products and services of value with others”. Demikian adalah ta’rif marketing, sebagaimana diajukan oleh Philip Kotler.
Philip Kotler dipandang sebagai ahli marketing kelas dunia. Pria kelahiran 27 Mei 1931 ini adalah penulis produktif, konsultan, profesor utama bidang Marketing Internasional di Northwesten University. Selain Kotler, tentu saja sangat banyak para ahli yang mengajukan penjelasan terkait marketing. Bahkan, jangankan para ahli, saya yang sama sekali bukan ahli, akan beranikan diri mengusulkan: apa dan bagaimana marketing. Tentu saja pembaca juga sangat boleh memberikan insight-nya. Makin banyak insight, makin banyak perspektif, akan makin kaya, dan makin syumul.
Dari kabar yang beredar, secara teoritis, marketing disebut-sebut sebagai ilmu yang datangnya belakangan, di saat ilmu-ilmu seperti akuntansi dan manajemen telah berkembang pesat. Marketing, masih berdasar kabar yang beredar, pertama kali diajarkan di dalam kelas oleh E.D. Jones tahun 1906 di University of Michigan, juga oleh Simon Litman di University of California.
Ringkesnya, marketing adalah berbagai upaya memenuhi kebutuhan dan bahkan keinginan orang lain, yang dilakukan dengan jalan: penciptaan (produk barang atau jasa), penawaran, dan pertukaran (dalam ragam bentuknya). Dari sini lalu kita mudah memahami kenapa banyak sekali penawaran-penawaran yang bertebaran di hampir seluruh ruang umum (public space). Penawaran, adalah satu dari tiga hal yang dilakuan dalam kerja-kerja marketing. Setiap pihak yang melakukan penawaran, dipastikan ia memiliki produk (barang atau jasa).
Marekting, dengan demikian adalah hal yang sangat asasi dilakukan oleh pemilik produk, baik dalam rupa barang (semisal: buku), atau pun dalam bentuk jasa (semisal: “cara baca” buku). Saking pentingnya marketing, kita mendapat kabar bahwa sebuah ada perusahaan berani mengeluarkan banyak dolar untuk itu. Bahkan, untuk urusan marketing, korporasi rela diri mendatangi pihak yang menahbiskan diri sebagai konsultan marketing. Berbanding lurus dengan itu: makin tenar seorang konsultan, maka makin bagus juga return yang didapatkannya. Demikian itu telah berlangsung sejak lama hingga kini, dan entah sampai kapan.
Apa yang demikian adalah salah?? Tidak!! Tidak ada yang salah, dan tulisan ini jauh dari bicara salah atau tidak salah. Perihal salah atau tidak salah, bukan di sini dan bukan saat ini diskusinya.
Marketing, yang semula lahir dan tumbuh subur di dunia bisnis, dunia ekonomi, lambat laun merangsek masuk ke jantung dunia pendidikan. Tak terkecuali Pesantren.
Bagaimana dunia pendidikan mengadaptasi hal ihwal marketing?.
Atau saya ubah saja: bagaimana perspektif Pesantren tentang marketing? bagaimana marketing (seyogyanya) dipraktekan olehPesantren?
Pertanyaan ini harus dijawab sendiri oleh insiders Pesantren. Jangan sampai perihal ini justeru diajukan penjelasannya oleh para outsiders. Jika yang kedua yang terjadi, maka (sebenarnya) yang rugi adalah Pesantren.
Snouck Hurgronje, Clifford Geertz, Martin van Brunnessen, Karl A. Steenbrink, Manfred Ziemek, adalah sedikit nama-nama outsider sangat masyhur, yang mendalami hal-ihwal pesantren. Para insiders Pesantren sendiri, kajian yang dilakukannya sering disebut belum sekuat mereka.
Sekali lagi, perspektif Pesantren terkait marketing harus diajukan oleh insiders atau wong jero Pesantren sendiri. Jadi, bagaiaman perspektif Pesantren tentang marketing? Danbagaimana Pesantren mempraktekan marketing?.
Sekurang-kurangnya, usul saya: “khidmat di jalan dakwah” adalah spirit yang harus menjiwai keseluruhan dari proses marketing di Pesantren.
Agama mengajarkan, semua kaum beriman harus menjadi marketer kebaikan. Tak bisa dibantah! Setidaknya, dalam kerangka seperti itulah, kerja-kerja marketing dilakukan oleh santri atau Pesantren.
Terus, bagaimana caranya?
Guna menjawab pertanyaan ini, ijinkan saya bercerita. Cerita ini juga yang akan menjadi ikhtitam tulisan ini.
Dulu, saat masih jomblo, di momen Idul Fitri, saya sowan kepada salah satu satu guru ngaji saya. Seorang guru, yang kepada beliau saya belajar mengeja huruf-huruf Al-Qur’an, mengaji bab air, perihal istinja, perihal salat, perihal puasa, perihal dasar gramatika Bahasa Arab, perihal adab, hadis, tafsir. Kepada beliau juga saya dengan teman-teman di kampung belajar tentang darah. Iya, belajar tentang hukum darah perempuan.
Saya beranikan diri mengajukan pertanyaan kepada beliau seraya berucap:
“Punten Kyai, kaulo pingin sekali diberi tahu: kira-kira bagaimana cara mengembangkan lembaga pendidikan Pesantren?”.
Saat pertanyaan itu diajukan, saya tengah mengabdi di sebuah Pesantren yang dikelola keluarga, yang ada di pedalaman Sumatera. Tepatnya di Jalur 8 Jemabatan 7 Desa Telang Karya Kec. Muara Telang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan.
Lalu… Dengan suara lirih beliau ngandika:
“Kaulo tidak banyak ngerti macem-macem. Kaulo namung inget salah satu hadis Kanjeng Nabi yang mestinya membuat kita sadar, bahwa tatkala kita terus-menerus dan sekuat-kuatnya mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka pasti Allah akan menggerakkan alam semesta untuk bukan hanya mendekat, namun juga “patuh” kepada kita”.
Cerita itu mendadak saya kembali ingat, gegara nulis soal marketing.
Penggalan pesan Kanjeng Nabi itulah yang saya usulkan menjadi semacam: Marketing Style of Santri, atau Marketing Style of Pesantren.
Sebagai institusi pendidikan agama, marketing yang ada di Pesantren perlu dijiwai dan sekaligus dibungkus dengan nilai-nilai yang berbasis pada khazanah keilmuan Pesantren (ajaran agama). Itulah yang selanjutnya menjadi distingsi, menjadi pembeda yang nyata, antara marketing Pesantren dan yang lain.
Khitaman, saya harus jujur menyatakan bahwa: dalam konteks hadis yang diceritakan Pak Kyai itulah, saya berusaha memahami pelajaran Guru kita: Allah dulu, Allah lagi, Allah terus!.
Wallahu a’lamu.
Muhammad Bisyri, Ketua LSP Daarul Qur’an