Beberapa waktu lalu dua kaligrafer wanita asal Singapura, Nur Fathiyah (30) dan Siti Nur Amira (27) berkunjung ke Daarul Qur’an. Kedatangan keduanya untuk belajar kaligrafi kepada Syeikh Belaid Hamidi, ulama yang juga kaligrafer internasional dan penulis Mushaf Kerajaan Maroko yang kini tengah mengajar kaligrafi di Pesantren Tahfizh Daarul Qur’an, Ketapang, Tangerang. Keduanya pun menyempatkan berbincang dengan redaksi Daqu.sch.id tentang alasan memilih seni kaligrafi hingga bagaimana perkembangan kaligrafi di Negeri Singa tersebut.
Diantara sekian banyak seni kenapa memilih kaligrafi?
Siti Nur Amira : Pada awalnya niat tidak ada, awalnya saya belajar dengan ustadz Atikah, awalnya tulisan saya jelek, tapi dia beri motivasi semua bisa menulis khat. Sekali dua kali saya jatuh cinta pada pelajaran ini. Waktu itu saya mulai belajar pada 1 April 2015 di Mesir.
Nur Fathiyah : Saya belajar 15 tahun lalu, karena saya suka saja dengan seni kaligrafi. Tentang keindahan dan makna yang terkandung di dalamnya. Kebetulan saya ada skill. Saya mencoba dan langsung tertarik pada sentuhan pertama.
Ada Kesulitan di awal-awal?
Siti : Sulit itu pasti. Terlebih pada awal-awal. Utamanya bagaimana membuat sinkron antara tangan dan otak. Sering apa yang sudah ada di otak saya berbeda dengan apa yang saya lukiskan. Saya suka nangis pas lihat hasilnya.
Nur : Saya tidak merasa kesulitan, karena sejak awal suka dan cinta. Apabila kita mencintai apa yang kita kerjakan saya rasa rasa letih akan terbayar.
Bagaimana proses awal belajarnya?
Siti : Yang pertama itu kita harus benar-benar memperhatikan khat yang ada. Bagaimana lekukannya dan naiknya. Agar otak kita benar-benar merekam. Awal-awal di training otak dulu, agar kita paham dengan bentuk-bentuk khat. Setelah terbiasa melihat dan memperhatikan baru kita menggoreskan ke dalam kanvas.
Nur : Yang pertama sabar. karena seni itu memakan masa (waktu-red) dan anak sekarang maunya instan. Kesabaran ini yang tidak dipunya anak muda sekarang. Seni itu akan sampai jika prosesnya kita ikuti satu persatu. Seperti tadi Nur katakan dia harus melihat banyak dulu sebelum memulai. Jadi harus sabar. Karena sekali tulis itu tidak akan benar.
Perlu bakat untuk belajar kaligrafi?
Siti : Semua bisa dibentuk. Tidak butuh bakat. Saya awalnya tidak paham dan bisa sama sekali. Namun proses belajar membuat kita biasa dan bisa.
Nur : Saya pikir sama dengan apa yang dikatakan oleh Nur.
Manfaat Belajar Kaligrafi?
Siti : Hidup lebih tersusun, karena kita terpaksa mengamati, menyusun khat, sehingga suasana hati bisa lebih tenang.
Nur : Benar kata Siti. Belajar kaligrafi bisa jadi sarana kontemplasi sekaligus menenangkan hati. Di Singapura banyak yang belajar kaligrafi adalah kelas pekerja yang sudah mumet dengan beban kerjanya. Kita gunakan belajar kaligrafi ini khat untuk kelas terapi. Jadi di awal kelas kami meminta mereka untuk relaksasi.
Siti : Iyah, banyak kelas di Singapura yang digelar saat akhir pekan. Jadi ini berfungsi menurunkan emosi dan beban kerja lainnya.
Bisa ceritakan tentang sosok Syeikh Beleid?
Siti : Beliau sebagai seorang penyusun kurikulum yang mudahjuga saya anggap sebagai seorang ayah. Sering kami bepergian ke luar negeri bersama beliau dan beliau menjaga kami layaknya seorang ayah. Beliau juga bijak terhadap murid-muridnya dan sabar saat mengajar.
Nur : Saya banyak guru sebelum beliau. Jadi tahu apa bedanya diajar oleh beliau dan guru lainnya. Bukan untuk membandingkan. Jadi yang membedakan Syeikh Beleid dengan guru saya lainnya adalah… jika tidak ada Syeikh Beleid mungkin yang tidak punya bakat tidak akan bisa belajar kaligrafi. Karena dulunya khat hanya untuk orang yang sudah punya bakat. Karena metodenya gak detail. Sangat elitis. Jadi yang gak punya bakat bakal menyingkir. Tapi saat Syeikh Beleid datang, dimana basic beliau sebagai guru anak-anak kecil, ia menganggap semua yang belajar kaligrafi sebagai anak kecil yang pastinya belum paham apa-apa jadi diajar dari nol. Sehingga yang ada bakat dan tidak ada bakat tidak disisa-siakan kemauannya.
Kemudian saat belajar di Mesir hubungan itu plek guru dan murid. Suasananya Kaku. Tapi Syeikh Beleid muamalahnya sangat lembut. Kita orang melayu yang jika dihentak bisa jadi tidak akan belajar lagi. Nah, beliau tidak. Beliau melayani kita dengan penuh kesabaran. Kita jadi senang dan tidak takut saat mau nanya. Jika kita diam saat di kelas dia akan cerita-cerita sehingga di kelas interaktif. Memang belajar kaligrafi butuh disiplin yang tinggi karena kita menulis Alquran, tapi jika di marah terus yah pulang kita.
Perkembangan Kaligrafi di Singapura?
Siti : Di Singapura sendiri kita tidak paham kapan kaligrafi masuk, Setahu kami dalam 10 tahun belakangan baru marak dan jelas tertinggal dari Indonesia. Kami harus membuatnya seimbang biar tidak dinilai Sslami sekali karena takut ada stereotipe. Jadi kami menulisnya di sebelah khat cina dan lainnya. Kita paling memajang disaat acara kesenian. Sering kita ditanya kenapa menulis ini dan membuang waktu lama untuk membuatnya. Saya pikir ini karena mereka belum paham sehingga menjadi tantangan kita untuk memberi pemahaman.
Nur : Penerimaan terhadap kaligrafi agak berbeda antara Singapura dan Indonesia. Di Indonesia sudah ada yang masuk dalam kurikulum sekolah. Di Singapura jika ingin masuk dalam kurikulum sekolah akan ada pertanyaan, “Apa manfaat ini buat pendidikan?” jadi harus detail.
Berapa Jam Sehari Berlatih?
Siti : Waktu awal-awal belajar bisa 2-4 jam. Tapi kini karena kesibukan saya selalu punya waktu 15-20 menit sekali untuk menulis. Saya lakukan sepulang kerja dan saat weekend.
Nur : Waktu belajar banyak waktu. Pulang kuliah kita bisa langsung belajar. Tapi sekarang susah. Jadi disela-sela mengajar saya juga menulis. Atau jika ada yang memesan baru kita kerjakan.
Apa kepuasan dari seorang Kaligrafer?
Siti : Pastinya ketika khat kita dilihat kaligrafer lain dan mereka paham dengan apa yang kami buat.
Nur : Ketika ada yang pesan dan mereka terpuaskan dengan hasil yang kita buat.
Kaligrafi ini seni original Islam dan ditulis dari kitab suci Alquran lalu bagaimana penerimaan masyarakat Singapura yang mayoritas non-muslim?
Siti : Masyarakat Singapura suka dengan karya seni. Jika tulisan kita indah mereka pasti akan bertanya tentang apa yang kami buat. Mereka juga suka memesan kaligrafi bertulis nama mereka yang kami tuliskan dengan bahasa Arab.
Nur : Ketimbang orang melayu, masyarakat Singapura lebih cepat memahami kaligrafi. Ini terjadi karena mindset sejak kecil dimana kami tidak boleh jadi seniman. Orang melayu selalu ingin anaknya menjadi dokter atau pengusaha karena seniman dianggap tidak punya masa depan yang cerah.
Pesan Bagi Yang Mau Mulai?
Nur : Berani mencoba aja dan jangan pusing dengan mindset harus punya bakat
Siti : Idem
Untuk Karir?
Siti : Insya Allah bisa. Kami sudah membuktikan.