Merdeka Belajar ala Menteri Nadiem Makarim

0
288

Nama Nadiem Makarim, B.A., M.B.A. langsung mencuat di dunia pendidikan tanah air. Sejak awal penunjukkannya sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tidak sedikit yang meragukannya. Kiprahnya lebih dikenal sebagai sosok yang sukses dan mapan di usia muda berkat kelihaiannya meng”Gojek”an Indonesia. Tentunya hal tersebut tidak berhubungan langsung dengan dunia pendidikan. Kebijakan penghapusan ujian nasional (UN) bagi pelajar SMP dan SMA semakin menambah keviralan namanya.

Patut kita apresiasi atas pilihannya melepaskan jabatan pada perusahaan Gojeknya untuk fokus memajukan pendidikan di negeri urutan ke 371 dalam kemampuan membaca menurut Pisa 2018. Posisi ini lebih rendah dibandingkan negara tetangga, Brunei Darussalam ranking 408 dan Thailand 393. Tanggung jawab besar kini diembannya. Terlebih setelah Pendidikan Tinggi dikembalikan rumahnya yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kini sosok menteri milenial ini harus mengurus masa depan anak bangsa mulai dari anak kecil di jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai para kandidat doktor di jenjang pendidikan doktor.

Sepanjang dua bulan menjabat orang nomor satu di dunia pendidikan, gerak cepat telah diambil oleh Nadiem Makarim dengan menggagas Kemerdekaan Belajar. Apa saja kebijakan yang akan dan telah diambilnya untuk memajukan pendidikan?

Pertama, penggantian UN menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter. Sesuai Permendikbud Nomor 43 Tahun 2019 pasal 18 yang telah ditanda tangani Menteri Nadiem, kebijakan ini mulai berlaku tahun 2021. Tahun 2020 kali terakhir UN diterapkan untuk mendapatkan sertifikatnya. Tentunya konsep asesmen kompetensi minimum dan survei karakter memerlukan kajian lebih dari berbagai persfektif. Dan yang paling penting, perlu diiringi sosialisasi dan pelatihan yang masif kepada seluruh guru sebagai pelaksana kebijakan ini.

Kebijakan penghapusan UN membangkitkan kembali perdebatan antara madzab kuantitatif dan kualitatif. Dalam pandangan madzab kuantitatif menyimpulkan perlunya data berupa angka untuk dijadikan suatu ukuran tentang mutu pendidikan yang ada. Madzab kuantitatif mengacu pada hasil akhir dari proses yang dijalani. Maka lahirlah Ujian Nasional yang dimulai tahun 2002 sampai 2020.

Saat hasil ujian akhir dijadikan syarat kelulusan bagi siswa terjadilah “kepanikan kaum terpelajar”. Siswa dipaksa mendapatkan hasil UN yang melebihi target agar lulus. Lembaga bimbingan belajar tumbuh pesat bak jamur di musim hujan. Memetik pundi-pundi dari kepanikan orangtua akan nasib anak tercintanya bila sampai tidak lulus UN. Guru di sekolah dituntut melakukan segala cara untuk meningkatkan hasil UN siswa-siswanya. Beragam kritikan terhadap UN semakin gencar. Hingga akhirnya diputuskan UN hanya sebatas alat ukuran untuk mendapatkan pemetaan capaian belajar siswa dan bukan menjadi satu-satunya faktor yang menentukan kelulusan.

Madzab kualitatif sejak awal sudah menolak UN. Menurutnya pendidikan harus mementingkan nilai-nilai humanisme, partisipasi siswa dalam belajar, serta pengembangan karakter. Penilaian sebaiknya diserahkan pada masing-masing guru dan sekolah. Guru yang memiliki legalitas dan alokasi waktu lebih banyak dalam berinteraksi dengan siswa sejatinya lebih mengetahui perkembangan siswanya secara objektif. Tampaknya kebijakan Kemerdekaan Belajar akan menggaungkan suara-suara dari madzab kualitatif yang sempat diabaikan. Dengan catatan, penilaian kompetensi minimum siswa tidak sebatas menguji kemampuan teknis perjenjangnya, yang dapat menjauhkan dari nilai humanis yang ingin ditumbuhkan di lingkungan sekolah.

Kedua, pelaksanaan USBN diserahkan kepada satuan pendidikan masing-masing. Sekolah mendapat keleluasaan untuk menyusun, mengembangkan, dan melaksanakan ujiannya. Menurut Permendikbud Nomor 43 Tahun 2019 pasal 5 dan 9, bentuk penilaian berupa portofolio, penugasan, tertulis, dan/atau bentuk kegiatan lain yang ditetapkan oleh sekolah. Sekolah wajib menyampaikan nilai ujian dan rapor kepada kementerian melalui data pokok pendidikan untuk kepentingan peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan.

Kebijakan menteri Nadiem mengembalikan kembali fungsi guru seutuhnya. Guru tidak hanya bertugas mengajar tetapi juga menilai. Guru juga mampu merefleksikan penilaian tersebut untuk perbaikan pembelajaran. Sekolah sebagai institusi penyelenggara pendidikan dituntut untuk profesional, akuntabel, dan berintegritas dalam penilaian pada satuan pendidikannya. Sekolah harus menjamin guru memiliki keleluasaan dalam berkreasi dan berinovasi dalam proses pembelajaran. Sekolah memfasilitasi segala kebutuhan guru untuk menunjang proses pembelajaran. Baik guru maupun sekolah dituntut terus meningkatkan kualitasnya dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang nyaman dan kondusif serta sivitas akademika yang berbahagia.

Ketiga, penyederhanaan rencana pembelajaran yang disusun guru. Mas Menteri Pendidikan ini selalu berpesan agar RPP cukup dibuat satu halaman saja. Rencana pembelajaran hanya berisi tujuan, kegiatan, dan asessmen atau penilaian pembelajaran. Tujuannya agar guru dan dosen bisa fokus mengembangkan pembelajaran. Menurutnya, hal penting dalam RPP bukan tentang penulisannya, melainkan tentang proses refleksi guru terhadap pembelajaran yang terjadi.

Konsep perencanaan pembelajaran yang memerlukan penyiapan bahan dan strategi tetap berlaku, yang diperbaiki hanya formatnya saja. Bila diamati format RPP yang ada, terdapat belasan kompenen yang harus ada. Mulai dari identitas sekolah, mata pelajaran, materi, alokasi waktu, pertemuan kali. Pencantuman kompetensi inti mulai dari K1, K2, K3 sampai K4, dan kompetensi dasar perlu merujuk pada peraturan yang ada. Perumusan tujuan, materi ajar, metode, langkah-langkah pembelajaran, penyediaan alat, media, dan sumber belajar diakhiri dengan penilaian. Ini pun harus diketahui dan dinilai oleh kepala sekolah. Belum selesai RPP ditanda tangani kepala sekolah, guru sudah dituntut melakukan penilaian harian seluruh siswa di setiap pertemuan.

Format RPP yang disederhanakan ala Nadiem Makarim menjadi angin segar bagi guru. Solusi kecil dari beban yang melimpah didapat juru ilmu ini. Guru bebas membuat, memilih, mengembangkan, dan menggunakan RPP sesuai dengan prinsip efisien, efektif, dan berorientasi pada murid. Efisien berarti penulisan RPP dilakukan dengan tepat serta tidak menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Efektif berarti dilakukan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Berorientasi pada murid dengan mempertimbangkan kesiapan, ketertarikan, dan kebutuhan belajar murid di kelas. Guru masih bisa menggunakan format RPP yang dibuat sebelumnya atau bisa juga memodifikasi format RPP yang sudah dibuat.

Kelas diawali dari pertanyaan-pertanyaan yang menggali pengetahuan anak didik. Sesi penyampaian materi dari guru cukup direkam dan murid bisa menyimaknya di luar kelas. Dalam kelas benar-benar berlangsung pembelajaran yang efektif.

Keempat, fleksibelitas zonasi sekolah. Dalam Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019 Bagian Kedua Jalur Pendaftaran PPDB, zona tidak berbasis wilayah administratif melainkan keberadaan sekolah, populasi siswa, dan radius. Jika suatu wilayah tidak ada sekolah, zona bisa diperlebar. Teknis zonasi sekolah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah. Selain sistem zonasi, penerimaan peserta didik baru dapat melalui jalur afirmasi atau prestasi serta perpindahan tugas orang tua/wali sepanjang memenuhi persyaratan.

Tentu sejak awal ditetapkan peraturan ini menuai protes. Khususnya rasa kekecewaan orang tua yang tidak bisa menitipkan anaknya di sekolah favorit karena terkendala peraturan. Memang tujuan yang diusung peraturan zonasi sekolah sebagai upaya pemerataan mutu pendidikan membuat siswa tidak hanya berkumpul di sekolah favorit saja. Kebijakan ini justru menghilangkan kastanisasi sekolah antara sekolah favorit dan non favorit.

Sekolah dituntut untuk menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas. Ini menjadi tugas kementerian dan dinas pendidikan untuk meramu mutu pendidikan dan berlangsung secara merata di semua sekolah yang ada.

Disisi lain, lembaga pendidikan pesantren menerima semua siswa dari berbagai daerah lintas kota dan pulau. Bahkan tidak hanya dalam negeri ada juga dari luar negeri. Keberagaman latar belakang siswa mudah ditemukan di pesantren. Pesantren menjadi miniatur umat Islam Indonesia dan dunia.

Empat program tersebut merupakan langkah awal dari kementerian pendidikan dan kebudayaan untuk mencapai kemerdekaan belajar di Indonesia. Masih banyak PR yang harus dikerjakan. Kerdekaan belajar belum membahas kesejahteraan guru, penyederhanaan kurikulum, dan penyederhanaan kompetensi dasar. Kemerdekaan belajar sejatinya membebaskan guru untuk mengeluarkan pemikiran sebagai bagian dari pembelajaran. Gerak cepat mengejar ketertinggalan dunia pendidikan tidak menjadikan pendidikan kelinci percobaan dengan kebijakan-kebijakan yang bersifat populis dan temporer. Ini momentum yang tepat untuk menyusun dan menetapkan blueprint pendidikan Indonesia agar maju secara komprehensif dan berkesinambungan.

 

Oleh: Ustadz Yudi, Biro Penelitian dan Pengembangan Pesantren Tahfizh Daarul Qur’an