Dua orang santri putri Daqu Cikarang menjadi delegasi dalam Musabaqoh Hifdzil Qur’an (MHQ) yang diselenggarakan oleh Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) di Jakarta bertajuk Festival Qur’an Wanita Nasional, Jumat (25/10).
“Ana agak deg-degan dan sedikit ngerasa pesimis ketika udah sampe di sana. Soalnya ini pertama kalinya ana sendiri ikut lomba MHQ di luar area Daqu.”, tutur Safinatunnajah Azzahra (16) tersipu malu. Matanya melirik ke kanan dan ke kiri seakan mengulang kembali perasaan yang berkecamuk kala lomba berlangsung.
“Pas waktu sebelum lomba kan sambil murojaah. Terus kan lombanya campur dari anak SD/MI sampe kakak-kakak mahasiswa gitu. Ada anak SD umur delapan tahun gitu lagi murojaah juga pake lagu yang nadanya gonta-ganti. Kok kayanya bagus dan lancar banget. Kayanya ana gak bisa deh jadi ana langsung nutup Qur’an.”, ujar Talitha Arifanda (14) menimpali.
Safinatunnajah dan Talitha masing-masing mengikuti lomba MHQ katagori 10 dan 30 juz. Alhamdulillah, dua buah trofi dapat dibawa pulang yakni juara 3 katagori 10 juz dan juara 2 katagori 30 juz. Menambah daftar panjang prestasi bidang tahfidz di Daqu Cikarang.
Selain lomba MHQ oleh IIQ ini, keduanya kerap mengikuti dan menjuarai Musabaqah Hifdzil Qur’an Nasional (MHQN), salah satu kompetisi tahfidz akbar yang rutin diadakan setiap tahun yang diikuti oleh seluruh pesantren boarding Daarul Qur’an di Indonesia. Tak ketinggalan beberapa kali mendapatkan Tahfidz Reward Bulanan Daqu Cikarang.
Dalam menghafal, masing-masing orang tentu memiliki metodenya masing-masing. Safina, putri sulung dari tiga bersaudara, menggunakan metode ‘menemukan kata kunci’ dalam arti atau terjemah setiap ayatnya. Bahasa Arab yang menjadi salah satu mata pelajaran favorit baginya sangat membantu dalam menghafal, karena di dalamnya mempelajari mufrodat atau kosa kata.
Berbeda dengan Talitha yang telah menyelesaikan hafalan bil ghoibnya ketika masih berada di kelas enam shighor putri. Gadis yang bercita-cita menjadi dokter bedah ini menggunakan metode talaqqi dan melihat mushaf berkali-kali hingga hafalannya bisa menempel. Kemudian ia mencari dan menemukan perbedaan pada ayat-ayat yang dianggap mirip satu sama lain.
“Ana merasa belum mutqin buat hafalannya. Makanya ana lanjut di SMP ini diberitahu bisa dapet sanad jadi masuk halaqoh syaikhoh sambil terus muroja’ah. Ana tadinya ngehafal ya karena pengin ngafal aja. Ana juga tadinya gak punya hafalan sama sekali. Surat An-Naas aja ana gak hafal. Ana kan di shighor pindahan dari kelas tiga. Disitu ana mulai dari belajar kitab nuroniyah dan baru boleh ngafal. Tapi kesini-sini pengin kaya temen-temen juga. Pengin bisa bikin bangga orang tua.”, cerita si bungsu berkulit putih, Talitha, dengan polosnya.
“Kalo mau mutqin ya memang harus muroja’ah terus-terusan. Sedikit-sedikit muroja’ah. Ada waktu luang sedikit, pegang mushaf terus muroja’ah. Lumayan dapet satu halaman atau kalau lagi banyak waktu bisa dapet seperempat juz. Ana suka juga kalo dapet motivasi dari ustadzah halaqoh. Apalagi kalo nemu ayat-ayat yang sulit dinasehati supaya sabar dan diulang-ulang. Jangan lupa berdoa sama Allah. Suntikan semangat dari orang tua juga mendorong ana lebih semangat ngafal. Ana selalu inget kalo Al-Qur’an nanti yang akan ngasih syafaat untuk kita di akherat nanti.”, jelas Safina, gadis belia yang menjadikan para hafidz seperti Ustadz Adi Hidayat dan hafidz cilik Ahmad dan Kamil menjadi contoh inspirasinya dalam menghafal.
Oleh : Daqu Post Putri