Orientasi Tahfizh Al Quran

0
30

oleh : Mahfud Fauzi

 

Sejak 10 tahun terakhir ini fenomena gerakan tahfizh menjamur hingga pelosok. Tidak hanya di pesantren tapi juga merembes didin pekantoran melalui majelis taklim, masjid,  sekolah bahkan apa yang dikatakan rumah tahfizh saat ini ikut meramaikan arus peradaban tahfizh di bumi Indonesia.

Fenomena Wisuda akbar yang digelar oleh PPPA Daarul Quran, ODOJ,  Musa, dan maraknya imam muda dengan suara khas mereka, misalnya, menambah semarak dunia tahfizh Indonesia. Sejumlah metode menghafal Al-Qur’an pun hadir dengan sejumlah inovasi kreatifnya.

Prokontra tentang model pendidikan menghafal pasti ada, sebut saja Westwood(1) yang menyatakan bahwa pembelajaran hafalan mendorong siswa berkomitmen terhadap informasi ingatan yang tidak dimengerti dan tidak memiliki nilai fungsional, dimana informasi yang tersimpan tidak mudah diambil dan juga mudah dilupakan. Untuk mengatasi masalah itu, kemudian diprioritaskan lebih penting untuk menerapkan ajaran Alquran dalam konteks kehidupan nyata. Untuk mencapainya, itu perlu agar Tafsir ditambahkan ke kurikulum, agar artinya mudah dipahami.

Berbeda dengan Westwood, Eickelman dalam artikel jurnal Helen N. Boyle mengungkapkan bahwa proses penghafalan al quran adalah menjadi bagian kedisiplinan dan sebuah proses latihan logika dan akal sehingga banyak proses pembelajaran mental yang terlibat.(2)

Perdebatan di atas coba ditengahi oleh Daniel A. Wagner yang menunjukkan bahwa hampir beberapa abad yang lalu penghafalan Al Qur’an itu sebagai langkah awal untuk belajar, tidak serta merta menghalangi pemahaman di kemudian hari. Pembelajaran menghafal harus kredibel diajarkan kepada seorang anak laki-laki di masa kecil yang paling awal, sehingga ia dapat menahannya sepenuhnya dalam ingatan. Setelah itu, maknanya akan terus berangsur-angsur membeberkan makna kepadanya, poin demi poin, saat ia tumbuh lebih tua. Jadi, yang pertama adalah melakukan penyimpanan ke memori; kemudian terjadi pemahaman; kemudian terjadi keyakinan, kepastian dan penerimaan.(3) Terlepas dari polemik diatas, seperti dikutip oleh Sebastian Gunther yang menyitir pendapat Al-Ghazali, baginya, pengetahuan sejati bukanlah sekadar akumulasi fakta yang diingat melainkan ‘cahaya yang membanjiri hati.(4)

Sebuah penelitian menunjukkan orientasi tahfizh Al Quran mengarah kepada 3 dimensi yakni antara kajian, ritual dan pembelajaran:

Pertam,  kajian, pengkaji Al-Qur’an yang memposisikan Al-Qur’an sebagai teks yang mulia namun sekaligus memungkinkan dikaji secara kritis, untuk keperluan menggali kandungan maknanya. Kelompok ini mendudukkan aktifitas perekaman wahyu dalam hati dan pikiran sebagai proses untuk mencapai pemahaman ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an. Kelompok ini mengkaji Al-Qur’an secara kritis, dan dalam batas-batas tertentu melakukan kritik. Mereka terus menggali dan mencari metodologi terbaru dalam memahami Al-Qur’an, termasuk melibatkan teori-teori modern (sastra, bahasa, filsafat, sosiologi, dan lain-lain).

Kedua, ritual, pengkaji Al-Qur’an yang memandang predikat hafizh sebagai prestasi tertinggi. Kelompok ini memposisikan hafal Al-Qur’an sebagai tujuan, tidak lagi proses. Bagi kelompok ini, hafal Al-Qur’an adalah orientasi, target. Tidak ada target lagi setelah menghafal, karena tujuan akhir mereka adalah menghafal Al-Qur’an. Oleh karena itu, wacana yang berkembang di tengah-tengah mereka adalah bagaimana teknik menghafal Al-Qur’an dengan cepat, memiliki hafalan yang kuat, dan lain sebagainya. Tidak terfikirkan oleh mereka, bagaimana metodologi pemahaman Al-Qur’an dalam rangka memecahkan persoalan kontemporer, dan lain sebagainya.

Ketiga, pembelajaran, pengkaji Al-Qur’an yang mendudukkan Al-Qur’an sebagai firman Allah, yang dengan membacanya akan menjadi bentuk ibadah (al-muta’abbad bitilawatihi). Kelompok ini tidak mengkaji Al-Qur’an secara kritis tetapi juga tidak menjadikan ‘hafal Al-Qur’an’ sebagai orientasi. Motivasi utama mereka menghafal Al-Qur’an adalah sebagai bentuk ibadah. Meskipun demikian berdasarkan penuturan para penghafal Al-Qur’an dalam kategori ini yang berhasil oleh peneliti temui, mereka rata-rata menuturkan memiliki pengalaman spiritual. Misalnya, ada sugesti positif akibat dari aktifitas menghafal Al-Qur’an. Mereka merasa mudah dalam menyerap disiplin ilmu lainnya. Pendeknya, dengan menghafal Al-Qur’an mereka merasa ‘tercerahkan’.

Indonesia, sebagai negara yang mendapat limpahan mayoritas muslim terbesar dunia merasa diuntungkan ketika mendapatkan semacam bonus demografi dimana umat muslim sedang mendapat anugerah Qur’an in everyday life untuk mencintai kitab suci melalui menghafal. Harus bangga, namun jangan lantas berpuas diri, karena pergerakan semakin cepat dan dipastikan akan ada banyak pergeseran. Mungkinkah sebuah pegiat, pelaku atau aktifis tahfizh bergerak menuju 3 metode di atas? Wallahu a’lam

 

 

1 Westwood, P. Learning and Learning Difficulties: A Handbook for Teachers. ACER Press.
Australian Council for Educational Research Ltd: Victoria. (2004).
2 Helen N. Boyle. Memorization and Learning in Islamic Schools….. pp. 489
3 See Wagner, “Rediscovering Rote in Helen N. Boyle. Memorization and Learning in Islamic
Schools….pp. 488
4 Gu¨nther, “Be Masters in That You Teach and Continue to Learn in Helen N. Boyle. Memorization and
Learning in Islamic Schools….pp. 488
5 Lihat Ali Romdhoni, Tradisi Hafalan Qur’an di Masyarakat Muslim Indonesia, Journal of Qur’an and
Hadith Studies – Vol. 4, No. 1, (2015): hal. 16