Tahun ini rumah tahfizh sebagai sebuah gerakan telah berusia 9 tahun. Saya teringat waktu program ini pertama kali tercetus terjadi diskusi yang panjang dan hangat antara Kyai Yusuf Mansur, ustaz Ahmad Jamil, ustaz Anwar Sani dan saya. Disaat yang sama kita sedang berusaha mewujudkan pesantren dengan impian mencetak 100 ribu penghafal Alquran. Pada faktanya saat itu susah juga, bahkan nyari santri saja kita harus masuk ke dalam-dalam kampung dan susah dapatnya.
Diskusi saat itu karena program rumah tahfizh mau kita luncurkan secara terbuka. Siapa saja bisa membuatnya, siapa saja bisa menarik donasi. Jadi kita bangun konsepnya, kita bangun kurikulumnya lalu siapa saja bisa menggunakan. Ini gimana? kita buat program tapi programnya bisa dipakai orang lain, disaat banyak lembaga menutup sekaligus melindungi asetnya. Namun, Kyai Yusuf Mansur punya pandangan berbeda. Menurutnya mencetak banyak penghafal Alquran ini harus melibatkan banyak unsur masyarakat. Tidak hanya kawan-kawan Daarul Qur’an saja.
Disaat kami sedang berdiskusi terkait konsep dan kurikulum, di saluran televisi Kyai Yusuf sudah mengenalkan konsep rumah tahfizh kepada masyarakat luas, “Siapa saja yang punya kontrakan, punya garasi, silakan buat pengajian dan itu rumah tahfizh” ajaknya saat itu.
Ajakan ini medapat respon yang luar biasa. Panggilan telpon ke kantor PPPA banyak sekali, sementara SDM terbatas. kita sampai kerepotan karena sistem sedang kita buat tapi ajakan ustad sudah direspon oleh masyarakat. Tapi kita melihat ini sebagai sebuah tantangan dan proses. Kita bersyukur gerakan ini diterima masyarakat.