Tips Menjadikan Anak Usia Dini Penghafal Alquran

0
36

Tanpa ragu, Hafizah Khairiyah (5) langsung maju ke panggung pelaksanaan Musabaqah Hifzhil Qur’an (MHQ) begitu namanya dipanggil dewan juri. Dengan sigap tangannya mengambil mic yang telah disediakan. Setelah membuka dengan salam ia mulai membacakan satu persatu surah yang diminta oleh dewan juri. Sesekali bacaannya terhenti karena terlupa. Tapi beberapa saat kemudian ia bisa melanjutkan dengan lancar.

Ini merupakan pengalaman pertama Hafizah, siswa TK B, KBTK Ketapang, Tangerang, mengikuti ajang MHQ. Namun begitu ia mengaku tidak gugup, terlebih takut. Sebaliknya gestur tubuh Hafizah menunjukan ia berani dan siap dengan ajang ini. Ia juga menggeleng ketika ditanya apakah grogi saat di atas panggung.

Kategori ini memang menarik bagi banyak penonton MHQ. Bagaimana melihat ekspresi polos anak-anak usia 5 tahun membacakan hafalan Alquran mereka. Terkadang mereka terbengong dan menatap kosong wajah dewan juri. Adakalanya mereka menatap ke guru pembimbing sambil mengangkat alis saat lupa akan surah yang dibaca. Perilaku mereka mengundang banyak senyum. Namun begitu para guru pendamping terus memberi semangat. Juri juga sesekali membantu saat peserta terlupa.

Rata-rata mereka belum bisa membaca bahkan fasih berbicara, tetapi hafalan Quran mereka sudah bisa dibilang banyak untuk anak seusianya. Lalu bagaimana tips membuat mereka menghafal Alquran? Bagaimana teknik dan tantangannya.

Kamipun berusaha menggali bagaimana mengajarkan anak usia dini menghafal Alquran. Kami berbincang dengan ustadzah Erna dan Leha. Keduanya guru tahfizh di KBTK Daarul Qur’an, Ketapang, Tangerang, di sela-sela pelaksanaan MHQ Daarul Qur’an ke VII yang diselenggarakan di Pesantren Tahfizh Daarul Qur’an Solo, Jawa Tengah, 17-19 November 2018 lalu.

Menurut keduanya mengajarkan hafalan Alquran kepada anak-anak bisa dibilang susah-susah gampang. Susah karena bahasa Arab yang tidak familiar bagi anak-anak, gampang karena kemampuan anak-anak dalam menghafal yang masih lebih cepat ketimbang orang dewasa.

“Anak-anak itu punya kemampuan menyerap apa yang mereka dengar maupun yang mereka lihat sangat tinggi ketimbang orang dewasa” ujar Erna.

Meski begitu kesabaran harus dimiliki para pengajar. Mengingat anak-anak agak sulit untuk diajak fokus pada satu kegiatan. Maka itu baik Erna dan Leha mengakali dengan mengikuti apa kebiasaan anak-anak yakni sambil bermain.

“Kami mengemas hafalan mereka dengan sambil bermain. Jadi kami menghafal misalnya saat sedang bermain lempar bola atau melompat” jelas Leha.

Proses menghafal sambil bermain ini sangat mudah diikuti oleh anak-anak. Mereka jadi tidak memiliki beban berat saat menghafal. Selain itu anak-anak juga diterapkan menghafal one day one juz (ODOA) metode yang dikenalkan oleh KH Yusuf Mansur, pendiri Daarul Qur’an, menurut keduanya sangat tepat diterapkan pada anak-anak.

Dan yang tidak kalah penting adalah peran aktif orang tua di rumah. Maka apa yang telah dihafal anak-anak di sekolah juga harus diulang di rumah. Kondisi ini menuntut aktifnya orang tua dalam menjadi pembimbing anak-anak menghafal Alquran.

“Kami menyebutnya menciptakan frekuensi yang sama baik di sekolah dan di rumah. Jika tidak begitu anak-anak akan segera lupa dengan apa yang mereka dapat di sekolah”