Ustadz Yusuf Mansur, begitu kebanyakan orang menyapa, telah menabuh genderang gerakan menghafal al-Qur’an sejak kisaran 2006. Lewat One Day One Ayat (ODOA)-nya, tak lama kemudian ia ditetapkan oleh Republika sebagai sosok tokoh perubahan pada 2009.
Tak bisa dipungkiri, melalui gerakannya, jutaan ummat menghampirinya. Untuk apa? untuk membantu menuntun perjalanan hidup yang arif. Secara kasat mata, apakah muatan gerakannya hanya sebatas pencitraan ditengah-tengah belenggu kehidupannya? Rasanya tidak.
Hingga saat ini ia terus belajar untuk menghafal, bahkan anak-anaknya juga menghafal, selain menyeru jalan sedekah sebagai solusi kemelut hidup yang menimpa. Menjadi aktor sedekah, menurutnya, bagian yang harus diprioritaskan.
Gerakannya kemudian melembaga. Daarul Quran adalah cikal bakal sebuah nama yang akan melahirkan sekian bobot program baik sosial, dakwah dan bahkan bisnis.
Al Quran adalah pionir utama. Oleh karenanya, tak mengherankan jika Daarul Quran kemudian memiliki banyak program turunan yang berhubungan dengan al Quran. Tak hanya mewajibkan untuk menghafal bagi para santrinya, namun juga para karyawannya.
Selain itu, lembaga ini juga memberikan sumbangsih kepada masyarakat dengan mengadakan pagelaran wisuda akbar. Dimana, dalam kegiatan ini, masyarakat diajak untuk berpartisipasi menghafal al Quran, meski hanya surat-surat tertentu. Wisuda akbar sendiri telah digelar rutin tiap tahun sejak 2011 hingga 2015. Sementara beberapa surat yang dihafalkan bersama adalah Arrahman, Al Mulk, Yasin, Tabarok, Muhammad, Qof, Shof, Albaqarah 1-100, dan Annaba’.
Bahkan, kegiatan menghafal al Quran ini mendapatkan sambutan positif dari salah seorang rekan saya.
“Kalau saya komitmen tiap tahun istiqomah ikut wisuda akbar Daarul Quran, bisa saja di tahun 2030 saya jadi hafidz ya, khatam dan hafal 30 juz al Quran. Masya Allah, sebuah sejarah baru bagi saya dalam hafalan kali ya,” ujar kawan sambil menyeruput teh hangatnya di pagi sebelum beranjak kerja.
Rasanya, Tanah Pertiwi ini terasa indah jika kemudian dimana-mana ada yang mengaji dan menghafal. Bahkan, al Quran bisa menjadi “pakubumi sosial” ditengah konflik sosial baik horisontal maupun vertikal. Siapapun yang sedang memegang bahkan membaca apalagi menghafal Quran pasti akan ada yang membimbing jalan hidupnya.
Dimana-mana ada tawuran, bukan lagi antarpelajar, antarmasyakarat tapi antaranggota dewan (DPR), lalu gempa bumi, tsunami, dan musibah-musibah lainnya. Allah tidak melenyapkan bumi pertiwi ini, Allah tidak membumihanguskan bumi ini gara gara melihat perilaku bejat kehidupan sosial. Karena Allah masih melihat ada yang mengaji, ada yang membawa Quran, serta ada yang sedang menyibukkan diri menghafal Quran. Disitulah Allah menjaga bumi pertiwi ini, al Quran menjadi “pakubumi sosial” yang kuat di Indonesia.
Namun sementara, pada medio Mei 2015, Ustadz penulis buku “Mencari Tuhan yang Hilang” ini kembali digoyang isu tak sedap yang digulirkan oleh salah satu pengusaha, bahkan akan diadukan ke jalur hukum. Selang satu bulan, yakni pada akhir Juni 2015, ustadz mendapat panggilan. Apakah panggilan hukum? Lalu siapa yang memanggil? Kapolda? Kapolri? Kejaksaan? Namun yang memanggil adalah langsung Raja Saudi Arabia, Raja Salman dan para Imam Masjidil Haram Makkah Mukarramah.
Apa hubungannya dengan isu tak sedap diatas tadi? Tak ada hubungannya. Namun inilah hadiah sang ustadz atas pengelolaan lembaga tahfidz yang ia rintis menjadi lembaga terbaik tingkat dunia. Penghargaan ini langsung diberikan oleh raja dan para imam kepada ustadz Yusuf Mansur. Ketabahan, kegigihan serta keuletan dan ketegaran, serta sabar dalam menghadapi masalah, berbuah manis.
Sebagaimana prinsipnya “susah itu mudah”, dibalik kesusahan pasti akan ada jalan banyak kemudahan. Demikian dinukil dari bukunya Susah itu Mudah .
“Seperti sudah ada yang menskenario saja ya, berlaku motivasi QS Al Insyiroh 5-6 untuk Ustadz, betapa saat itu menghadapinya sebuah masalah, namun berbuah manis,” bisik kawan saya dengan mata berkaca-kaca.
Kedatangan ke Arab tak menggunakan banyak pernak pernik seperti jubah gamis dan udeng-udeng lainnya. Ia hanya menggunakan batik dan peci songkok nasional warna hitam. Ini merepresentasikan jiwa nasionalismenya atas Indonesia yang ia cintainya.
Tidak berhenti sampai disitu, penulis buku Kun Fayakun for Bisnis ini, pada Jumat (11/12/2015) lalu menerima penghargaan API (Apresiasi Pendidikan Islam) 2015 di Jakarta. Penghargaan ini disampaikan langsung oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin, yang didampingi antara lain Sekjen Kementerian Agama Nur Syam, Dirjen Pendidikan Islam Kamarudin Amin, para pejabat eselon II baik pusat maupun daerah, dan juga sebagai tokoh perbukuan Indonesia.
Kini, hari ini, tepat 19 Desember 2015, merupakan hari lahir sang ustadz dari rahim sang ibunda tercinta. Sebuah kisah 39 tahun silam yang lalu, Sang Ibu seolah sudah “mengintip” lauhul mahfudz nya sang ustadz. Tak pelak, acapkali sejak kecil diramu dengan hasanah ilmu, dirawat, dengan lantunan sholawat, digendong dengan asik kisah dongeng. Karena kelak akan memberi sejuta manfaat untuk ummat.
Keindonesiaannya, kebangsaannya, serta keummatannya melekat menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam jiwanya. Selamat ulang tahun ustadz Yusuf Mansur, Ustadz saya, Ustadz Anda, Ustadz Kita dan Ustadz Ummat semua.