Dari Bantal Guling Hingga Foto Keluarga, Menemani Beratnya Hari-hari Pertama di Pesantren 

0
33

Sabtu, 30 Juni 2018, menjadi hari pertama Rizky (12) menginjakkan kaki di Pondok Pesantren Tahfizh Daarul Qur’an, Tangerang. Ayah dan Ibu Rizky tidak lupa mengantarnya. Hari itu Rizky membawa semua kebutuhan yang diperlukan selama ia mondok nanti, dari mulai pakaian, buku, peralatan mandi dan lainnya. Yang uniknya Rizky juga membawa bantal guling dari rumah.

Alasan Rizky sederhana membawa bantal guling bercorak salah satu klub Liga Inggris tersebut. Selain di pondok hanya disediakan bantal saja, guling tersebut dibawa Rizky untuk membuat ia kerasan di waktu-waktu pertama di pesantren.

“Biar gak cepat kangen rumah” ujarnya singkat.

Lain Rizky, lain lagi dengan Ariel (12) yang berasal dari Papua. Ia mengaku membawa foto kedua orangtuanya. Agar jika kangen ia bisa menatap foto keduanya.

Sementara itu, Muhammad Raffy Abipraya Indrawan memiliki resep yang unik agar ia bisa kerasan di rumah. Resep ini diberikan oleh orangtuanya yang terus di stimulasi kepada Raffy jelang keberangkatan ke pesantren.

“Mama bilang bila tidak betah dalam satu hari coba dua hari. Jika tidak betah dalam 1 pekan coba dua pekan. Jika tidak betah dalam 1 tahun coba dalam 2 tahun” ujar Raffy.

Bagi para santri hari-hari pertama di pesantren memang membawa rasa harap-harap cemas. Mereka berharap dengan sangat akan menemukan lingkungan baru, suasana baru dan pastinya teman baru. Namun berjauhan dalam waktu yang lama dengan keluarga inti pastinya akan menimbulkan rasa rindu dan kangen yang kadang membuat santri tidak fokus dalam masa awal-awal di pesantren.

Fenomena ini diakui sendiri oleh Ustad Ahmad Slamet Ibnu Syam, pengasuh ponpes tahfizh Daarul Qur’an Ketapang, Tangerang. Menurutnya fenomena ini sangat wajar. Rasa kangen dan rindu ini pastinya datang dari dua sisi baik santri dan orangtua. Maka itu menurutnya ada beberapa kiat yang akan membuat santri betah di awal-awal masuk pesantren.

Slamet menjelaskan agar santri tidak lekas ingat rumah maka yang pertama orangtua untuk menanamkan rasa ikhlas yang tinggi melepas anaknya belajar di pondok pesantren. Jangan lagi jika anak sudah masuk pesantren orangtua kepikiran terus sehingga ini akan nyambung dengan hati sang anak.

“Yang pertama orangtua harus benar-benar ikhlas dan yakin pesantren itu akan membuat anak mereka menjadi lebih baik pemahamannya akan ilmu agama dan lainnya” ujarnya.

Maka itu di Daarul Quran ada kebijakan penjengukan perdana adalah pada dua bulan pertama setelah santri masuk pesantren.

“Ini agar orangtua tidak sebentar-sebentar menjenguk anaknya, sehingga atmosfer rumah selalu memenuhi hati sang anak”

Lalu yang lebih penting adalah orangtua harus menyamakan frekuensi hati dengan anak mereka di pesantren. Ini sebagaimana sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, “Ruh-ruh bagaikan tentara yang tersusun. Jika saling mengenal maka akan bersatu, dan jika saling mengingkari maka akan berpisah”

Maka, jelas Slamet, agar sama frekuensinya orangtua juga harus nyantri di rumah, dalam artian jika di pesantren anak mereka bangun jam 3 dinihari untuk melaksanakan shalat tahajud, maka orangtua juga melakukan hal yang sama di rumah. Lalu jika anak melaksanakan puasa sunah Senin – Kamis, orangtua juga melaksanakan puasa tersebut. Lalu jika setiap hari anak menghafal Alqur’an, orangtua di rumah juga usahakan untuk menghafal AlQur’an minimal satu ayat perhari.

“Insta Allah dengan kondisi seperti ini maka frekuensi anak dan orangtua akan sama dan insya Allah ini akan mempercepat anak dalam memahami serta mengikuti kegiatan di pesantren”

[vc_media_grid grid_id=”vc_gid:1530499032315-2ed208fe-d2c5-0″ include=”17698,17696,17695,17697,17701,17700″]