Alhamdulillah, tak kurang dari 1.300 santri baru memenuhi slot tahun ajaran 2015/2016 di Pondok Pesantren Tahfidz Daarul Qur’an Tangerang (Pusat), Cikarang (Putri), Lampung, dan Semarang.
Memberitakan acara penerimaan santri baru di Pesantren Tahfidz Daarul Qur’an Ketapang, Tangerang, 28 Juli lalu, Republika menulis bahwa stigma pesantren sebagai institusi pendidikan alternatif yang dipilih jika anak tidak masuk sekolah umum, mulai memudar. Kini, banyak orangtua yang memilih pesantren sebagai pilihan utama tempat belajar anak-anaknya.
Pilihan itu bijaksana. Pesantren adalah lembaga pendidikan yang komplet. Tiga fungsi pesantren meliputi; pertama, sebagai lembaga pendidikan yang melakukan transfer ilmu-ilmu agama (tafaqquh fiddin) dan nilai-nilai Islam (Islamic values). Kedua, sebagai lembaga keagamaan yang melakukan kontrol social (social control).Ketiga, sebagai lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa social (social engineering) [Madzkur Damiri, 2014].
Negeri ini juga dibangun dan dibesarkan dengan pondasi pesantren.
K. Ng H. Agus Sunyoto, M.Pd(2012) memaparkan, sejak kebangkitan Kesultanan Demak, pesantren menjadi satu-satunya lembaga pendidikan Islam bagi semua kalangan. Dari putera raja, bupati, nayakapraja, saudagar, pujangga, petani, nelayan, dan hingga perajin.
Dari pesantren-pesantren lahirlah tokoh-tokoh pemimpin dan cendekiawan serta filsuf termasyhur. Misalnya, Raden Patah, Sultan Trenggana, Sultan Adiwijaya, Sultan Agung, Patih Jugul Muda, Pangeran Kajoran, Sultan-sultan Yogyakarta, raja-raja Surakarta, raja-raja Mangkunegaran, Sultan-sultan Banten, Sultan-sultan Cirebon, pujangga Yosodipuro, Pangeran Diponegoro, termasuk Ronggowarsito.
Karya-karya besar di bidang hukum seperti Angger Surya Ngalam (KUHP Demak), Jugul Muda (KUHP Pajang), Angger Pradata Dalem dan Angger Arubiru (KUHP Mataram) lahir sebagai fakta sejarah keberhasilan pesantren dalam mencetak lulusan berkualitas. Selain itu lahir pula karya-karya besar di bidang pemerintahan seperti Serat Nitipraja, Serat Nitisruti, Serat Tripama, Serat Wulangreh, bahkan karya-karya filsafat dan metafisika seperti Sastra Gending, Serat Jatimurti, Suluk Wujil, Wirid Hidayat Jati, Serat Kalatidha, dsb.
Pesantren jugalah yang melahirkan para pahlawan kemerdekaan. Pada 3 Oktober 1943, Jepang membentuk Tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang terdiri atas 60 batalyon di Jawa dan Bali. Sebagian di antara komandan batalyon PETA dengan pangkat Daidancho (Mayor) adalah para kiai dari komunitas pesantren. Itu terlihat saat latihan pertama dimulai pada 5 Oktober 1943, terdapat nama KH Iskandar Sulaiman (Daidancho Malang), KH Iskandar Idris (Daidancho Pekalongan), KH Joenoes Anis (Daidancho Yogyakarta), KH Basoeni (Daidancho Pemalang), KH Doerjatman (Daidancho Tegal), KH Abdoellah bin Noeh (Daidancho Magelang), KH Ternaya (Daidancho Cirebon), KH Amien Djakfar (Daidancho I Madura Timur), KH Abdoel Chamid (Daidancho III Ambunten-Sumenep), KH Idris (Daidancho Wonogiri), K. Moeljadi Djojomartono (Daidancho Surakarta), KH Sjam’oen (Daidancho Banten), KH Cholik Hasyim (Daidancho Jombang).
Pada 14 Oktober 1944, pemerintah pendudukan Jepang membentuk Hizbullah di Jakarta. Hizbullah secara khusus beranggotakan pemuda-pemuda Islam se-Jawa dan Madura. Pada latihan pertama di Cibarusa, Bogor, yang diikuti 500 orang pemuda muslim itu tercatat sejumlah nama kiai dari pondok pesantren seperti KH Mustofa Kamil (Banten), KH Mawardi (Solo), KH Zarkasi (Ponorogo), KH Mursyid (Pacitan), KH Syahid (Kediri), KH Abdul Halim (Majalengka), KH Thohir Dasuki (Surakarta), KH Roji’un (Jakarta), KH Abdullah, KH Wahib Wahab (Jombang), KH Hasyim Latif (Surabaya), KH Zainuddin (Besuki), Sulthan Fajar (Jember).
Dalam sejarah pembentukan TNI, mereka yang tercatat sebagai komandan batalyon yang berasal dari kesatuan PETA, Hizbullah dan Sabilillah, tak lain adalah para kader pesantren. Mereka misalnya: KH Kholiq Hasyim, KH Amien Djakfar, KH Abdoel Chamid, KH Iskandar Idris, KH Joenoes Anis, K. Basoeni, K. Doerjatman, K. Abdoellah bin Noeh, K. Ternaya, K. Idris, K. Moeljadi Djojomartono, K. Sjam’oen, KH Iskandar Sulaiman, KH Zarkasi, KH Mursyid, KH Syahid, KH Abdullah, KH Zainudin, Sulthan Fajar, KH Masykur, KH Bisri Syansuri, KH Zainal Arifin, KH Munasir Ali, KH Wahib Wahab, KH Yasin, KH Mansyur Sholichy, KH Achyat Chalimi, KH Hasyim Latif, KH Anwar Zen, KH Hasan Syaifurizal, KH Zaini Mun’im, KH Djunaidi, KH Asnawi Hadisiswoyo, KH R. Salimulhadi, KH Bolkin, K. Mahfudz, K. P. Hadisoenarto, KH Abdul Muslim, KH Muslim, KH Dimyati Muid, K. Muslich, K. Ridwan, K. Imam Nawawi, K. Zaeni, K H. Sudjak, K. Asfani, K. Abdul Syukur, K. Djarkasi.
Selama masa revolusi kemerdekaan (1945-1948) tercatat sejumlah perwira TNI berlatar pesantren seperti Mayor KH Iskandar Sulaiman (Wakil Komandan Brigade Narotama, Malang), Mayor KH Munasir Ali (Komandan Batalyon Condromowo, Jombang), Sulthan Fajar (Komandan Resimen Mujahidin dari Brigade 13 Divisi VII Karesidenan Besuki), Mayor KH Mahfudz (Komandan Batalyon 508 Kodam Brawijaya), KH Zainul Arifin (Komandan Tertinggi Divisi Barisan Hizbullah), Letkol M. Munawar (Komandan Resimen Hizbullah pada Divisi Sunan Bonang Surakarta, kelak jadi Resimen 6 Brigade 24), Letkol KH Iskandar Idris (Komandan Brigade Nusantara di Pekalongan), Mayor Ahmad Bakri (Komandan Batalyon 18), Mayor A. Gafar Ismail (Komandan batalyon 19), Brigjen KH Sulam Syamsun, Mayor Hamid Rusdi, Brigjen KH M. Rowi, Kapten KH Yusuf Hasyim, dsb.
Kini, ketika NKRI menghadapi kolonialisme global soft-power, kita membutuhkan kembalinya kader-kader pesantren. NU misalnya, menyerukan Gerakan Nasional ‘’Ayo Mondok’’.
Tentu, tidak ada pesantren yang sempurna. Tidak ada jaminan bahwa semua santri akan merasa nyaman dan bahagia setiap hari di pesantren.
Tetapi Ustadz Yusuf Mansur mengingatkan, kalau orangtua santri ‘’ribet’’ sendiri, akan berdampak negatif pada psikologi anak. Padahal, sebenarnya paar santri fine-fine aja.
‘’Insya Allah, apa yang dialami anak di pesantren, susah dan senangnya akan menjadi pelajaran berharga bagi kehidupan mereka selanjutnya,” kata Ustadz Yusuf.