Basis Perjuangan Itu Disebut Pesantren

0
287

‘’Mengerikan’’ nian tujuan pendidikan pesantren. Seperti dikemukakan oleh Pakar Pendidikan Islam Prof Mastuhu (2007), pendidikan   pesantren   bertujuan menciptakan dan mengem-bangkan kepribadian muslim. Yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat dan berkhidmat kepada masyarakat, mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama dan menegakkan Islam dan kejayaan umat, mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia.

Tak heran jika pada masa penjajahan, pondok pesantren mengalami tekanan yang amat berat dari Kolonial Belanda. Pasalnya, pesantren juga menanamkan nilai-nilai yang mengancam penjajahan seperti jihad, cinta tanah air, dan patariotisme serta kemerdekaan.
Maka, Snouck Horgronje sebagai tokoh Orientalis Belanda berupaya keras menyusup dan menghancurkan pesantren dari dalam. Untuk mencapai tujuan jahat itu, ia melakukan infiltrasi (penyusupan) dan manipulasi.

Snouck dengan serius belajar ke Mekah dan Madinah untuk mendalami bahasa Arab dan Ilmu Qur’an, hingga ia fasih membaca dan menerjemahkan Kitab Suci agama Islam.
Mengaku Muslim, ia mengubah namanya menjadi Hafi Abdul Ghofar. Bahkan karenanya ia bisa menikahi putri pribumi dari Bupati Jawa Barat waktu itu.

Peneliti Clifford Geertz (dalam Mahpuddin Noor, 2006), mengatakan bahwa: “Sekembalinya dari negeri Arab ke Indonesia, dengan memiliki kemampuan bahasa Arab serta memahami isi Al-Qur’an, ia (Snouck) melakukan langkah-langkah berikut: 1) Mengawasi perjalanan pondok pesantren dengan ketat. 2) Memupuk serta membina adat istiadat ( tahayul, bid’ah dan khurafat) hingga berkembang di tengah-tengah masyarakat. 3) Mengelompokkan serta memilah-milah umat Islam, terutama para kyai pimpinan pondok pesantren. 4) Menjauhkan umat Islam dari kitab suci Al-Qur’an, dan yang dibolehkan mengartikan Al-Qur’an hanyalah kyai dan santri.

Upaya lain yang dilakukan Belanda kala itu adalah, mendirikan lembaga pendidikan modern berupa Sekolah Hindia Belanda (Holland Inlande School) sejak 1914.
Kendati demikian, pondok pesantren tidaklah surut dari minat masyarakat, justru semakin berkembang melejit.

Maka, penjajah melancarkan pendekatan lain untuk menaklukkannya. Mahpuddin Noor (2006) menuturkan:

“Pondok pesantren dengan kharisma kyai sebagai  figur sentral, senantiasa diperhitungkan keberadaannya oleh pihak penguasa, dari mulai penjajahan kolonial Belanda hingga bangsa ini merdeka. Terutama oleh pihak penguasa dan para elit politik negeri ini. Sehingga, tak sedikit pondok pesantren yang disanjung, diberikan bantuan dana oleh pihak-pihak tersebut, untuk kepentingan politik, memobilisasi massa, termasuk keberhasilan program pembangunan yang dicanangkan oleh penguasa pada saat itu.”

Di era modern ini, permusuhan terhadap pesantren terus dilancarkan. Cuma, caranya melalui soft power.

‘’Lembaga pendidikan Islam bisa lebih cepat menumbuhkan teroris baru ketimbang kemampuan AS untuk menangkap atau membunuh mereka,’’ demikian pesan Pejabat Militer Donald Rumsfeld kepada Washington AS dalam memonya pada 16 Oktober 2003. Rumsfeld lalu merekomendasikan AS untuk menciptakan lembaga donor guna mengubah kurikulum pendidikan Islam yang radikal menjadi moderat.

Wasiat dijalankan. Di Pakistan, Amerika mengucurkan dana 100 juta dollar kepada pemerintah untuk mengontrol 7000 pondok pesantren setempat. Pengawasan dan pengendalian dilakukan melalui Inter-Service Intelligence (ISI) yang menyensor kurikulum, selebaran, tabloid, dan percetakan milik pesantren.

Belakangan, AS juga berusaha menekan Mesir agar merombak kurikulum Universitas Al Azhar. Melalui tangan pemerintahan, AS berusaha mempersulit pendirikan masjid dengan memberlakukan 10 persyaratan ketat.

Di Indonesia, AS melakukan politik stick and carrot terhadap pesantren. Pada 18-28 September 2002, Institute for Training and Development (ITD), sebuah lembaga Amerika, mengundang 13 pesantren ‘‘pilihan’’ di Indonesia (dari Jawa, Madura, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi) untuk berkunjung ke Amerika. Masing-masing pesantren mendapat ‘’bantuan’’ USD 2000.

Sebaliknya, pesantren seperti Al Mukmin, Ngruki, Solo, dicap sebagai sarang dan produsen ‘’tero

 

ris’’.

AS dan Australia juga mengucurkan dana USD 250 juta untuk mengembangkan pendidikan Indonesia. Sejatinya, menurut diplomat Australia yang dikutip The Australian (4/10/2003), sumbangan itu untuk mengeliminasi madrasah-madrasah yang menghasilkan para ‘’teroris’’ dan ulama yang membenci Barat.

Lebih jauh, sebagaimana dipaparkan David E Kaplan (2005), puluhan juta dollar digelontorkan Washington bukan hanya untuk mempengaruhi masyarakat Islam tapi juga untuk merombak ajaran Islam itu sendiri.

Dana itu sebagian disalurkan lewat The Asia Foundation (TAF), seperti kepada 30 ormas untuk mengkampanyekan isu-isu gender, HAM, Islam moderat, Civil Society dan lain-lain.
Raymond Bonner, seorang jurnalis investigasi majalah Times, dalam bukunya Waltzing with a Dictator: The Marcoses and the Making of American Policy, tanpa sungkan menyebut TAF sebagai bentukan dan kedok CIA.

Selain TAF, juga ada USAID dan Ford Foundation untuk memuluskan misinya. Pertukaran budaya dan pemberian beasiswa seperti Fullbright tak lepas dari kepentingan AS. Jack Plano dalam The International Relation Dictionary (1982) menjelaskan bahwa program ini dikembangkan pemerintah AS sejak 1946 untuk mempengaruhi perilaku bangsa lain terhadap AS. Joseph S Nye dalam Soft Power (2004), mengutip pernyataan mantan Menlu AS Collin Powel, menyatakan bahwa program beasiswa akan membuat para alumni AS menjadi ‘’diplomat’’ AS kelak.  (Nurbowo)