“Anak-anak coba tuliskan tiga kelebihanmu!”, kata seorang guru kelas 6 yang sedang mengajar di sekolah dasar.
Menit demi menit berlalu namun anak-anak itu seakan masih bingung.
Dengan setengah berakting sang guru kemudian bersuara keras, “Ayo, tuliskan! Yang sudah menulis nanti bisa istirahat lebih awal”. Anak-anak itu seketika menjadi salah tingkah.
Beberapa di antara mereka mulai menulis. Salah satu di antara mereka menulis, “kadang-kadang nurutin kata bunda, kadang-kadang bantu bunda, kadang-kadang main dan nyiapin adik makan”.
Penuh rasa penasaran, sang guru bertanya kepadanya, “kenapa tulisannya kadang-kadang?”. Dengan wajah penuh keluguan sang bocah hanya berkata, “emang cuma kadang-kadang, pak guru”.
Ketika semua anak telah menuliskan kelebihan dirinya sang guru memberikan instruksi berikutnya. “Sekarang anak-anak, coba tuliskan tiga kelemahanmu atau hal-hal yang kurang baik di dirimu!”.
Seketika ruangan kelas menjadi gaduh. Anak-anak tampak bersemangat. Salah satu dari mereka angkat tangan dan bertanya, “Tiga saja, pak guru?”, “Ya, tiga saja”, jawab pak guru. “Jangankan tiga pak guru, sepuluh juga bisa!”, sambung anak tersebut.
Pelajaran yang bisa diambil dari cerita sederhana di atas adalah kita sering tidak menyadari kelebihan diri kita karena terkadang lingkungan dan orang di sekitar kita lebih sering mengkomunikasikan kejelekan dan kekurangan kita. Tak dipungkiri bahwa perlu adanya dukungan dari lingkungan disertai introspeksi diri agar kita mampu meningkatkan kelebihan diri untuk ditingkatkan menjadi prestasi. Kyai Yusuf Mansur pernah mengatakan bahwa semakin sering kita mendengar perkataan yang mengecilkan kita maka kita akan semakin lemah. Maka dari itu kita harus selalu mencoba menyingkirkan perkataan yang menjatuhkan usaha yang telah kita lakukan disertai mendengarkan yang bisa memotivasi diri.