Institusi sekolah banyak bermunculan dengan menawarkan program studi khas masing-masing. Namun begitu masih banyak orangtua yang kikuk saat memilih sekolah yang tepat untuk anaknya. Bahkan kerap ada pertanyaan bagaimana jika menyekolahkan anak di sekolah non-muslim.
Baik, mari kita teladani bagaimana pendidikan Buya Hamka. Di masa kecilnya, Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Hamka yang biasa dipanggil Malik, belajar mengaji dan tidur di surau selain berlatih pencak silat. Dia juga masuk sekolah desa sampai kelas 2 (Jawa: Sekolah Ongko Loro).
Pemikiran dan ajaran Hamka tentang pendidikan banyak ditemui dalam karyanya seperti “Tasauf Moden”, “Pelajaran Agama Islam”, “Falsafah Hidup”, dan “Tasauf Dari Abad ke Abad”.
Hamka dalam memaparkan persoalan pendidikan, selalu mencakup peran keluarga, pendidik dan lingkungan sosial. Peran ini dituntut harmonis.
Ada tiga aspek kemanusiaan yang mendasari pendidikan Islam bagi Hamka, yaitu: potensi (fitrah) peserta didik; jiwa (al-qalb), jasad (al-jism), dan akal (al-’aql).
Beliau menguraikan manusia dengan akal dan pengetahuan serta pendidikannya sebagai berikut:
‘’Segala perbedaan dan perubahan tingkatan pandangan hidup manusia itu timbul karena perbedaan tingkatan pendapat akal. Berlainan pendapat karena berlainan pengetahuan, pendidikan dan berbeda pula bumi tempat tegak. Jika akal itu telah tinggi karena tinggi pengetahuan (ilmu) dipatrikan oleh ketingian pengalaman, bertambahlah tinggi darjat orang yang mempunyainya. Karena sesungguhnya segala sesuatu yang ada dalam alam ini, hakikatnya sama saja, yang berubah adalah pendapat orang yang menyelidikinya.Maka kepandaian manusia menyelidiki itulah yang menjadi pangkal bahagia atau celakanya. Bertambah luas akal, bertambah luaslah hidup, bertambah datanglah bahagia. Bertambah sempit akal, bertambah sempit pula hidup, bertambah datanglah celaka. Oleh agama perjalanan bahagia itu telah diberi berakhir. Puncaknya yang penghabisan ialah kenal pada Tuhan, baik makrifat kepadaNya, baik taat kepadaNya, dan sabar atas musibahNya.Tidak ada lagi hidup di atas itu!’’
Kita heran, kata Hamka, ‘’melihat manusia, yang takut rugi dengan hartanya, tetapi mudah beroleh kerugian, yang lebih besar, yakni murka Tuhannya. Ia obati dengan segala cara anaknya yang jatuh sakit, yakni sakit badan: tetapi tidak dicarikannya obat jika anaknya mendapat sakit batin, yakni sakit akal.’’
Dalam hal ini Abdullah Nasih Ulwan, dalam bukunya Pendidikan Anak dalam Islam, mengingatkan bahwa generasi Islam akan rusak bila dalam hal pendidikan orangtuanya melakukan:
1. Menyerahkan anaknya kepada sekolah-sekolah asing, atau sekolah-sekolah missionaris. Tiada syak lagi anak-anak itu dibentuk atas dasar-dasar kesesatan. Akhirnya akan terlekat di dalam hatinya perasaan benci terhadap Islam, dan permusuhan terhadap agamanya sendiri.
2. Menyerahkan pimpinan anaknya kepada guru-guru mulhid, dan pendidik-pendidik yang jahat, menyematkan prinsip-prinsip kufur dan sesat dalam jiwanya. Akhirnya anak akan membesar dalam pendidikan ilhad dan petunjuk yang sangat membahayakan dan akan jauh dari pengajaran agama Islam.
3. Membiarkan anaknya membaca apa saja buku-buku orang mulhid dan materialis, atau membiarkan saja anaknya membaca bahan yang menikam agamanya sendiri oleh para missionari dan penjajah. Akibatnya anaknya akan ragu terhadap aqidah dan agamanya dan kelak akan menjadi musuh yang menentang Islam.
4. Membebaskan anaknya berbuat sesuka hati dan membiarkan dia bercampur gaul dengan orang-orang yang sesat dan tidak mengambil kisah apa yang dia percaya hasil pemikiran yang sesat itu. Akibatnya menyebabkan anak itu tadi akan mencaci segala nilai-nilai agama dan akhlak Islam yang diajar oleh Islam.
5. Membuka jalan bagi anaknya memilih komunitas yang sesat dan kufur. Akibatnya anak tadi akan terdidik dengan kepercayaan-kepercayaan yang sesat dan kufur, malah akhirnya akan menjadi musuh yang dahsyat terhadap Islam sendiri.