Kembali ke Semarang
Lama menetap di Mekkah tidak membuat Sholeh Darat melupakan tanah air. Kepulangannya ke tanah air juga tidak bisa dilepaskan dari peran Kiai Hadi Girikusumo. Saat itu memulangkan Kiai Sholeh Darat ke tanah air tidak mudah menginat ikatannya sebagai penagajar dengan pemerintah Saudi. Namun, Kiai Hadi Girikusumo menculiknya dengan memasukkan Kiai Sholeh Darat ke dalam koper. Sempat tertangkap karena ketahuan di Singapura tapi aksi memulangkan Kiai Sholeh Darat ini berhasil setelah para ulama iuran untuk menebusnya.
Setibanya di Tanah Air Kiai Sholeh Darat dinikahkan dengan Shofiyah putri dari Kiai Murtadlo. Shofiyah adalah istri keduanya setelah istri pertama meninggal di Mekkah. Di Semarang ia memilih tinggal di Kampung Mlayu Darat. Di kampung ini ia mendirikan pesantren yang dikneal dengan nama Pesantren Darat.
Banyak santri yang ingin belajar ke Pesantren Darat. Uniknya Pesantren ini bukanlah pesantren tingkat dasar melainkan untuk para santri senior yang telah mengenyam pendidikan pesantren sebelumnya. Para santri yang datang tidak hanya dari Kota Semarang, tetapi juga dari berbagai wilayah lain seperti Kendal, Pekalongan, Yogyakarta dan lainnya.
Tidak hanya menjadi tempat kaderisasi ulama, pesantren ini juga jadi tempat terciptanya para pejuang kemerdekaan. Dari pesantren ini lahir beberapa ulama nusantara seperti K.H. Hasyim Asyari yang kita kenal sebagai pendiri Nahdlatul Ulama dan K.H. Ahmad Dahlan yang merupakan pendiri Muhammadiyah. Karena perannya itulah Pesantren Darat tidak lepas dari pengawasan Belanda.
Metode Dakwah
Untuk mendekatkan masyarakat jawa saat itu dengan ajaran Islam. Kiai Sholeh Darat selalu menuliskan kitabnya dengan bahasa Pegon atau tulisan arab berbahasa Jawa. Kiai Sholeh Darat melakukan hal ini karena ia ingin masyarakat memahami agamanya dengan bahasa ibu mereka. Bisa saja ia menulis kitabnya dengan bahasa arab namun pastinya akan sulit dimengerti oleh masyarakat.
Selain itu ia juga dikenal sebagai pelopor penerjemahan Al-Qur’an ke dalam Bahasa Jawa. Ia membuat kitab tafsir yang terkenal berjudul Faidh ar-Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam al-Malik al-Dayyan. Kitab ini yang berikan kepada Raden Ajeng Kartini sebagai kado pernikahannya.
Kiai Sholeh Darat pula yang membuka pemahaman Kartini akan Islam. Ketika itu penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa memang dilarang oleh pemerintah Belanda. Bisa jadi ini merupakan upaya pemerintah kolonial untuk menjauhkan masyarakat dari Islam. Lalu suatu ketika Kiai Sholeh Darat mengisi pengajian di rumah Bupati Demak. Kebetulan Kartini sedang berkunjung ke rumah pamannya tersebut. Lalu ia mendengarkan Kiai Sholeh Darat yang tengah mengajarkan tafsir surat Al-Fatihah.
Kartini terkesan dengan makna Al-Fatihah yang akhirnya ia menegerti. Selama ini ia hanya bisa membacanya tanpa bisa memahaminya. Lalu ia meminta pamannya mengantar untuk menemui Kiai Sholeh Darat. Kartini pun mengucapkan rasa terima kasih atas pengajarannya hari itu yang membuat ia memahami makna Al-Fatihah.