Tujuh Syekh di Kampung Qur’an

0
21

”Jamaah, tolong doakan saya, agar Allah memberi kesempatan 10 detik saja tubuh saya bisa bergerak normal sehingga saya bisa bersujud kepada-Nya,” pinta Syekh Ammar Haitsam Bugis di Daarul Qur’an, Ketapang, Tangerang, Selasa, 25/12.

Permohonan itu diterjemahkan Ustadz Slamet Ibnu Syam selaku sohibul bayt, yang mendampingi tujuh syekh asal Timur Tengah di Kampung Qur’an.

Selain Syekh Ammar Bugis (Saudi), juga Syeikh Ahmad Assyahari, Syeikh Ali Sinan, Syeikh Abdullah As Sajarah, Syeikh Ghamdan Syuroih, Syeikh Miftah Al Wasobi, Syeikh Muhammad Al Hasyidi, Syeikh Ahmad Al kannas. Mereka hadir untuk berbagi ilmu qiro’at Qur’an, pengalaman menghafal Kitabullah, dan menyuntikkan motivasi bagi segenap keluarga besar Kampung Qur’an.

Kehadiran mereka disambut segenap pimpinan Yayasan Daarul Qur’an Indonesia dan PPPA Daarul Qur’an, serta ratusan jamaah dari Aceh sampai Papua.

Ammar Bugis, masih berdarah Makassar. Ia lahir di Amerika Serikat, 22 Oktober 1986. Nama Bugis diambil dari nama kakek buyutnya yang berasal dari Sulawesi, Syekh Abdul Muthalib Bugis. Beliau hijrah dari Sulawesi ke Mekah dan mengajar Tafsir di Masjidil Haram.

Syekh Ammar lumpuh total sejak 2 bulan, hanya mata dan mulutnya yang masih berfungsi, walau nada bicaranya agak tidak jelas. Itu semua tak mengurangi semangatnya untuk hidup dan berarti.

Dengan pendidikan homeschooling, Ammar sudah hafal 30 juz Qur’an sejak usia 13 tahun dalam waktu 2 tahun saja. Ia lulus dari Jurusan Jurnalistik King Abdul Aziz University. Menjadi wartawan olahraga Harian Al Madinah yang terbit di Jeddah, dan kolumnis Harian Ukaz terbitan Riyadh.

Ammar juga menjadi dosen di Universitas Dubai sambil meneruskan pendidikan S-2 di sana atas beasiswa Pangeran Uni Emirat Arab, Hamdan bin Muhammad bin Rasyid Al Maktum Al Fazza.

Kakak lelaki Ammar, Hasan Bugis, tubuhnya normal, seorang pilot Saudi Airline. Sedang adiknya, perempuan, yang juga lumpuh seperti Ammar, adalah seorang dokter.

Selain untuk sujud, 10 detik yang dipinta Ammar Haitsam Bugis juga akan dimanfaatkan untuk membuka mushaf Al Qur’an yang belum pernah dapat dilakukannya sendiri.

Banyak diantara ratusan jamaah menangis terharu mendengar permintaan Syekh Ammar. Termasuk Ustadz Yusuf Mansur yang berada di sebelahnya.

Kepada Pendiri Daarul Qur’an, Syekh Ammar menyatakan ingin memasukkan anaknya, Yusuf (14), ke Ponpes Daarul Qur’an Ketapang. ‘’Pondok Pesantren Tahfidz Qur’an adalah pendidikan untuk meraih dunia-akhirat,’’ tandas Syekh Ammar, yang menuliskan perjuangan hidupnya dalam buku berjudul “Qohir Al Mustahil” (Penakluk Kemustahilan).

Dalam taushiyahnya Ustadz Yusuf Mansur menegaskan, fenomena Syekh Ammar menunjukkan bahwa tidak ada yang mustahil bagi Allah SWT. ‘’Namun pikiran dan perasaan kita sendiri yang suka memustahilkan diri kita. Akhirnya itu jadi do’a buat kita sendiri,’’ katanya.

Dalam sebuah hadits qudsi, Allah SWT menyatakan bahwa ‘’Aku ini sebagaimana prasangka hamba-Ku.’’ Artinya, Allah akan ‘’menuruti’’ persangkaan pikiran dan perasaan manusia akan takdirnya sendiri.

Ustadz Yusuf mencontohkan, banyak orang merasa mustahil bisa naik haji karena kondisinya miskin atau banyak utang. Akibatnya, ya mustahil beneran. Padahal, dengan bersandar pada Allah Yang Maha Kuasa, kemiskinan dan utang bukan hambatan untuk ke Tanah Suci.

Turut memeriahkan silaturahim tersebut, penampilan para santri Daarul Qur’an dalam defile drumband, atraksi senam Daqu, koor hymne dan mars Daqu, serta muhadhoroh (pidato) dwilingual Arab-Inggris.

Acara diakhiri jelang waktu dhuhur dengan menyaksikan bersama pemasangan tiang pancang sebagai peresmian dimulainya pembangunan Masjid Daarul Qur’an.