“Sebuah riset penelitian tesis dari salah seorang mahasiswa Universitas Indonesia (UI) mengangkat kasus pembullyan di sebuah pesantren. Dari data yang didapatkan, sejak tahun 2014 hingga kini semakin tahun semakin terus meningkat jumlah kasus pembullyan yang terjadi di kalangan generasi millennial saat ini.”, ujar Ustadz Ahmad Pranggono, selaku Pembicara Internasional Konsultan Pendidikan dan Direktur Sensing Thinking Intuiting and Insting (STIFin) Bandung dalam mengawali workshop hari ini, Jumat (28/2).
Dengan mengangkat tema “Strategi Pencegahan dan Penanganan Bullying di Pesantren”, workshop Pondokku Syurgaku ini dilaksanakan. Bertempat di Gedung Al-Fath Pesantren Tahfizh Daarul Qur’an Ketapang Tangerang, workshop ini dihadiri oleh para pengajar tingkat SMP dan SMA, pengajar tahfizh, juga bagian pengasuhan santri Pesantren Daqu Ketapang.
Ustadz AP mengangkat tema tersebut mengingat betapa semakin maraknya kasus pembullyan yang terjadi di kalangan masyarakat saat ini, khususnya di kalangan generasi millennial yang tidak menutup kemungkinan kasus bullying ini juga terjadi di lingkungan pesantren.
Hadir pula dalam workshop ini Ustadz Rizky Aminullah, S.Si, M.M.Pd selaku Kepala Biro Litbang Daarul Qur’an, Ustadz Sobri Muhammad Rizal, M.Ag selaku Kepala Bidang Pengasuhan Pesantren Daqu, juga Usatdz Saiful Bahri, S.Pd.I selaku Pengasuh Pesantren Daqu Ketapang.
Sebelum mengulas lebih jauh terkait pembullyan, Ustadz AP mengajak para pengajar untuk mengenal lebih jauh terkait apa definisi bully yang sebenarnya. “Pembullyan adalah suatu sikap dari seseorang yang mengakibatkan orang lain yang ada di sekitarnya menjadi merasa tidak nyaman.”, ujar Ustadz Iwan Dani Rambe, salah satu pengajar tingkat SMP yang turut menjadi peserta workshop hari ini.
Lain halnya dengan Ustadz Humaidi Syaidil Akbar yang mengemukakan bahwa pembullyan merupakan sebuah reminder. Ustadz Humaidi mengangkat sebuah contoh dalam keseharian, misal ada teman yang menyampaikan kepada kita bahwa kita gendut. “Ini bukan bully, melainkan ini merupakan pengingat buat kita untuk rajin berolahraga dan mengatur pola makan. Dan harusnya ini juga menjadi ajang perubahan alias Bully for changes.”, ujarnya.
Berbeda lagi dengan Ustadz Edi Wahyudi yang mengutarakan bahwa bully merupakan bentuk perhatian orang lain kepada kita, maka dengan perhatian dalam bentuk bully inilah kita bisa semakin tahan terhadap pembullyan.
Dengan adanya perbedaan perspektif mengenai definisi bullying ini, maka penanganan kasus bully dimulai dengan perubahan mindset. “Mengingat kita tidak pernah mengetahui isi kepala orang lain, maka kita harus bisa mengubah mindset kita terhadap orang lain agar selalu positif.”, ujar Ustadz AP.
Ustadz AP juga menyampaikan salah satu cara utama dalam menangani kasus pembullyan terhadap santri adalah dengan mengajaknya berbicara. Ngobrol untuk menggali keluhan apa yang tengah dialaminya. Dengan sharing inilah, permasalahan dalam diri anak akan hilang 80%.
“Kadang, kita perlu cuek.”, ujarnya. “Kenapa ? sebab kalau kita gampang baper, apa-apa jadi disebutnya bully. Dibecandain dikit, baper. Diledekin dikit, baper. Diisengin dikit, bilangnya dibully.”
Para peserta workshop kemudian diminta mengisi kuisioner yang telah dibagikan oleh Ustadz AP sebelumnya yang selanjutnya dikupas Bersama-sama.
“Harapan saya, menjadikan pesantren sebagai rumah kedua.”, ujar Ustadz Ugi Agus Setiadi, bagian pengasuhan santri Pesantren Daqu. “Anak-anak ini banyak macamnya. Ada yang begitu aktif sekali yang saking aktifnya anak ini kalau bicara yaa bicara apa adanya saja sehingga ada teman-temannya yang merasa dibully sama dia hingga merasa sakit hati dan akhirnya enggak betah di pesantren.”, ujarnya.
Di tengah berlangsungnya workshop, Ustadz AP mengajak para peserta workshop untuk memejamkan mata sejenak dan membayangkan bagaimana kehidupan pesantren yang diidamkan selama ini.
Ustadz Rudi Subiyanto, salah seorang pengajar SMP Pesantren Daqu mengutarakan bahwa untuk menangani pembullyan di kalangan santri adalah dengan memposisikan diri kita sebagai pengajar ini sejajar dengan anak-anak. “Cara pertamanya kan dengan menggali masalahnya, maka untuk bisa mendapati anak curhat ke kita adalah dengan ngajakin si anak ini ngobrol bareng.”, ujarnya. “setelah kita paham permasalahannya, kita baru bisa memberikan saran dan motivasi untuknya.”